Sunday, November 1, 2009

Bermimpi adalah Hak Segala Bangsa


Oleh Jansen H. Sinamo
(Dimuat di Harian Kompas, Minggu 25 Oktober 2009)



Tidak hanya kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Impian pun demikian. Akan tetapi, bukan mimpi sembarang mimpi, bunga tidur yang terlupakan saat fajar menyingsing.

Impian besar mampu memotivasi segenap warga negara untuk bekerja keras. Mimpi agung yang memandu penduduk dengan nilai-nilai luhur yang membenam sakral di dalam impian itu. Mimpi akbar yang menyatukan mereka dalam satu nasionalisme mulia seraya mentransendensikan semua perbedaan mereka: ras, suku, etnis, agama, kultur, kelas, dan golongan. Mimpi yang kemudian meluluhkan mereka bersama dalam suatu rasa kebangsaan yang kompak dan bergetar-getar di sekujur tubuh bangsa itu.

Kini, Indonesia tidak lagi kompak bersatu persis karena mimpi agung itu telah berpendar semakin pudar. Entah kapan mulainya, virus sektarianisme meruyak dalam tubuh bangsa ini. Kita kerap bertikai, bertengkar, dan menghabiskan energi sehingga cita-cita Indonesia merdeka yang adil dan makmur semakin terasa bagai utopia kosong belaka.

Jangankan dengan Korea, China, dan India yang semakin jauh melaju, bahkan dengan Vietnam dan Malaysia pun kita semakin tertinggal. Tetangga yang disebut terakhir ini pun terasa semakin berani ”lancang dan kurang ajar”.

Reformulasi Pancasila


Situasi ini bukan mustahil semakin buruk. Contoh Yugoslavia yang telah bubar bisa terjadi di sini jika sesama elemen bangsa semakin tak bisa saling percaya; kecurigaan dan ketakutan berbasis suku-agama-ras-antargolongan (SARA) dibiarkan berkobar memecah belah, pengingkaran hakikat keindonesiaan yang Bhinneka Tunggal Ika berlangsung banal. Apalagi, jika kebiasaan buruk dalam praktik bernegara dipertontonkan terus: korupsi, kolusi, dan kompromi membiarkan diskriminasi, kebodohan, dan kezaliman semakin merajalela.

Kesatuan teritorial yang dimiliki sama sekali tidak memadai sebagai pengikat, seperti dibuktikan bekas Uni Sovyet. Hal ini sekaligus menegaskan, kita memerlukan sesuatu yang lebih fundamental: mimpi besar bersama yang memuat konsepsi, persepsi, perasaan, dan harapan kolektif tentang keindonesiaan kita yang baru.

Di atas fundamen inilah kemudian kita harus memperkuat demokrasi, memperbaiki kualitas pendidikan nasional dan mempertinggi pengetahuan masyarakat, serta membiakkan inovasi di segala bidang sehingga Indonesia bergerak pasti ke arah sosok bangsa maju: berketahanan, berkeunggulan, dan berkemenangan. Berkemenangan artinya sukses memerangi kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan diskriminasi sehingga terwujudlah Indonesia yang adil, makmur, berwibawa, dan bermartabat di mata dunia.

Demikianlah ringkasan isi buku The Indonesian Dream: The Pursuit of a Winning Nation. Penulisnya, Elwin Tobing, seorang profesor ekonomi yang kini mengajar di Azusa Pacific University, California.

Tercium aroma Pancasila? Tidak salah. ”The Indonesian Dream adalah suatu reformulasi modern Pancasila, lebih catchy dan dinamis, tetapi tetap sederhana,” ujar Tobing pada peluncuran buku ini di Jakarta, 4 September 2009.

Profesor muda yang lahir 16 April 1968 di Tarutung, Sumatera Utara, ini secara personal tentu bisa menghayati Impian Indonesia yang dia gagas. Dengan bermodalkan kerja keras, semangat akbar, dan impian agung—di tengah keserbakekurangan yang khas sebuah keluarga Batak—ia telah membuktikan bisa menembus IPB Bogor melalui jalur PMDK. Bahkan hingga ke Amerika Serikat: Northeastern University, University of Iowa, Harvard Business School, California State University Fullerton, dan Azusa Pacific University.

Tentu terbayang dalam benaknya, dari seluruh pelosok negeri dengan Impian Indonesia ratusan juta generasi muda akan mencetak prestasi masing-masing demi Indonesia.

Aktualisasi mimpi

Jadi, Indonesia memang perlu bermimpi lagi. Tepatnya, impian lama yang harus diaktualisasikan ulang, diperbarui dan diperkaya, dibikin hidup dan berdaya. Kita memerlukan mimpi segar yang sanggup mempersatukan putra-putri Indonesia dengan berkeinginan kuat akan suatu kehidupan nasional yang secara kualitatif berbeda dengan yang sekarang.

Seorang Ketut di Bali atau Bambang di Jawa, Ucok di Medan atau Pingkan di Manado, Usman di Aceh atau Bram di Papua, sebagai manusia-manusia baru Indonesia yang bernaluri, bernurani, dan bernalar sehat, pasti memiliki cita-cita akan kehidupan lebih baik, menyangkut kehidupan ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, dan peradaban bangsa ini dalam konteks dunia terkini. Tobing membayangkan, meski mereka bhinneka secara SARA, tetapi tunggal ika secara impian keindonesiaan.

Tobing secara khusus menekankan strategisnya arti impian (dream) sebagai bentuk sublim Pancasila. Suatu ketika Soekarno pernah mereduksi Pancasila menjadi gotong-royong. Tetapi gotong-royong yang sifatnya kolektif itu menomorduakan kontribusi partikular para individu anggotanya. Juga sifatnya lebih statis karena kegotongroyongan mengerjakan sesuatu bisa selesai ketika pekerjaan itu rampung.

Sebaliknya, impian adalah konsep bersifat terus-menerus sehingga lebih dinamis. Karena itu, menurut Tobing, Impian Indonesia yang juga boleh diterjemahkan menjadi Cita-cita Indonesia secara kualitatif akan lebih mampu mempersatukan manusia-manusia modern Indonesia dibandingkan dengan ungkapan lama yang sudah lapuk sehingga kehilangan geregetnya itu.

Beberapa nilai dasar Indonesian Dream juga turut dijelaskan dalam buku ini, termasuk kejujuran, kerja keras, respek terhadap satu sama lain, tanggung jawab, dan ketangguhan. Pokoknya sehimpunan perilaku unggul yang biasa digolongkan sebagai etos profesional.

Untuk memajukan negeri ini di tengah zaman global yang penuh persaingan ketat dengan ilmu pengetahuan sebagai dasar untuk bisa sintas bahkan menang, Indonesia juga butuh paradigma yang menjadi kerangka berpikir, bersikap, merasa, dan bertindak bagi setiap insan Indonesia. Bukankah bangsa yang tangguh dibangun oleh individu-individu warga yang tangguh? Kembali di sini Indonesian Dream tampil esensial ketika difungsikan sebagai paradigma.

Kehadiran buku ini sungguh tepat waktu tatkala kabinet baru segera bertugas dan legislatif di seantero negeri mulai bekerja. Profesor Tobing tampak mempersembahkan bukunya bagi para punggawa republik yang semakin dia cintai justru ketika ia hanya bisa memandangnya dari seberang Pasifik. Ini mirip dengan Bung Hatta dan kawan-kawan dalam Perhimpunan Indonesia ketika menggagas Indonesia Merdeka di Belanda hampir seratus tahun lalu.

Hanya satu kekurangan buku ini: ia berbahasa Inggris, jadi jelas elitis. ”Tapi jangan khawatir,” kata Tobing, ”Saya akan pulang ke Indonesia untuk meluncurkan edisi bahasa Indonesia pada awal 2010.”

(Jansen H Sinamo Penulis buku Delapan Etos Kerja Profesional, tinggal di Jakarta)

No comments:

.................................................................................................

Selalu ada pagi. Secangkir kopi. Sepotong cemilan. Dan lalu lintas percakapan. Mulanya pertemuan tidak teratur. Lama-lama jadi rutin. Dan Jansen Sinamo senang hati membagi-bagi pikirannya. Ia percaya pada hukum kekekalan energi. Bahwa keindahan dari menebar rahmat adalah karena suatu saat ia akan kembali kepada penebarnya. Ini lah Candid Talks with Jansen Sinamo, kumpulan laporan coffee morning talk dengan dia, Guru Etos Indonesia. Semoga bermanfaat.Ingin menghubungi Jansen Sinamo? Kontak: Instut Dharma Mahardika, Pulogebang Permai Blog G-11/12, Jakarta 13950; Telp.021-480 `514; Faks 021 4800429