Sunday, January 14, 2007

MATA BARU SEMANGAT BARU


Oleh Jansen H. Sinamo

Tengah Juni lalu saya ke Balige, kota kecil di ujung tenggara Danau Toba. Kami memperingati 100 tahun gugurnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, yang tewas pada 17 Juni 1907. Sebagai mantan Sekjen Yayasan PP Danau Toba saya dulu kerap bolak-balik ke danau ini. Namun kunjungan kali ini berbeda. Dulu saya melihat danau ini dengan mata lingkungan. Kali ini saya melihatnya dengan mata sejarah.

Dengan mata lingkunganhidup saya tak putus takjub dengan fenomena Danau Toba. Kata geologi, danau ini terbentuk sekitar 75.000 tahun lalu tatkala gunung Toba meletus sambil menghamburkan 800 km kubik material ke angkasa. Bandingkan dengan gunung St. Hellens, Pinatubo, dan Tambora yang masing-masing cuma melontarkan 0.2, 4 , dan 20 km kubik saja. Ledakan gunung Toba adalah letusan terdahsyat yang pernah terjadi di Bumi. Kaldera yang ditinggalkannya pun menjadi danau. Sekitar 10.000 tahun selanjutnya, magma yang terus mendorong--meski tak sanggup lagi bikin ledakan--mendongkrak batuan dan menggembung di atas muka danau: lahirlah pulau Samosir. Puluhan ribu tahun selanjutnya bekas-bekas ledakan raksasa itu hilang oleh tutupan hutan dan berganti menjadi situs lingkungan yang biru, hijau, subur, dan cantik menawan. Lalu, di sekitar abad ke-15, serombongan manusia merambah naik ke wilayah itu, bermukim di sana, dan menjadi sebuah masyarakat yang kini disebut orang Batak. Saya tak putus mensyukuri temuan alam para nenek moyang itu yang telah melahirkan jutaan putera-puteri Batak: banyak jenderal, guru, pendeta, politikus, seniman, pengusaha, intelektual, sopir dan kondektur, termasuk dinasti Sisingamangaraja yang bertahta di Bakara. Dan juga saya.

Dari ketinggian bukit saya memandangi Balige dan sekitarnya. Saya baca ulang sejarah perjuangan Sisingamangaraja XII. Saya bayangkan ribuan pasukan Batak bertempur di pallagan Balige dengan bedil sederhana melawan pasukan Belanda yang telah bersenjata otomatis bahkan meriam. Dengan menunggangi Sihapaspili, kuda putihnya, Sisingamangaraja XII tampil di medan laga, namun bahu kirinya tertembak. Ia kalah lalu mundur. Sejak itu selama 30 tahun ia terus melawan secara gerilya dari hutan-hutan di barat daya Danau Toba. Akhirnya beliau tewas pada 1907 mempertahankan kebebasannya, kedaulatan negerinya, dan martabat bangsanya. Saat tafakur mengheningkan cipta di depan makamnya di Soposurung, Balige, tanpa terasa mata saya sembab dengan hati haru dan bangga sekaligus.

***

Dari ketinggian surga, Allah melihat dunia kita. Ia saksikan derita manusia. Mata-Nya yang penuh belas kasihan (compassion) tidak tahan lalu mengutus putera-Nya yang tunggal. Sang putera itu mengundang kita: ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Begitulah mata Tuhan melihat Anda dan saya. Ia tahu derita, kesusahan, dan kepedihan kita. Ia melihat kita. Ia menunggu kita. Mari datang dan berlabuh di haribaan-Nya. Ia tahu harapan, kerinduan, dan cita-cita kita. Ia melihat kita. Ia menunggu kita. Mari mengadu, berserah, dan mengandalkan kuasa-Nya.

Mari memakai mata Tuhan sebagaimana Abraham memakai mata Tuhan. Meski janji Tuhan pada-Nya tampak mustahil, namun Abraham tidak bimbang. Ia memutuskan melihat kondisi hidupnya sebagaimana Tuhan melihatnya. Ia percaya dan terlibat dalam penantian penuh iman atas janji-Nya.

Mari memakai mata Tuhan sebagaimana Daud memakai mata Tuhan. Meski jauh-jauh hari telah diurapi Samuel, prospek jadi raja tampak mustahil sementara ia jadi buronan. Namun Daud tidak bimbang. Ia memutuskan melihat kondisi hidupnya sebagaimana Tuhan melihatnya. Ia percaya dan terlibat dalam penantian penuh perjuangan atas janji-Nya.

Ketika saya melihat dan menghayati Danau Toba sebagai medan perjuangan melawan kolonialisme, Sisingamangaraja XII jadi riil di hati saya. Saya rasakan ia sungguh dekat, menghayati emosinya, terinspirasi olehnya, dan lebih mencintai Tanah Batak dan Indonesia yang diperjuangkannya.

Ketika saya melihat dan menghayati hidup saya dengan mata Tuhan, sebagaimana Tuhan melihatnya: bahwa Ia sedang bekerja dalam dan melalui diri saya, maka pada saat itulah sukacita, keberanian, dan semangat baru melimpah ruah di batin saya.

No comments:

.................................................................................................

Selalu ada pagi. Secangkir kopi. Sepotong cemilan. Dan lalu lintas percakapan. Mulanya pertemuan tidak teratur. Lama-lama jadi rutin. Dan Jansen Sinamo senang hati membagi-bagi pikirannya. Ia percaya pada hukum kekekalan energi. Bahwa keindahan dari menebar rahmat adalah karena suatu saat ia akan kembali kepada penebarnya. Ini lah Candid Talks with Jansen Sinamo, kumpulan laporan coffee morning talk dengan dia, Guru Etos Indonesia. Semoga bermanfaat.Ingin menghubungi Jansen Sinamo? Kontak: Instut Dharma Mahardika, Pulogebang Permai Blog G-11/12, Jakarta 13950; Telp.021-480 `514; Faks 021 4800429