Monday, July 20, 2009

Buku yang Dikerjakan dengan Kegembiraan

Judul buku: 8 Etos Kerja dalam Bisnis
Penulis: Jansen Sinamo
Editor:Agus Santosa. Christina M. Udiani, Eben Ezer Siadari
Tebal: 318 Halaman
Penerbit: Institut Darma Mahardika, Jakarta
Tahun: 2009 (edisi revisi, cetakan kesembilan)
Harga: Rp60.000






Disebutkan atau tidak, tiap penulis selalu punya mimpi. Semacam keinginan atau cita-cita tentang seperti apakah kelak nasib buku yang ditulisnya. Terkadang, orang mengatakan buku tak ubahnya seperti anak kandung penulisnya. Yang dipelihara dan digadang-gadang suatu saat nanti akan mencapai level tertentu.

Jansen Sinamo bukan pengecualian. Sejak 10 tahun lalu ia tak kenal lelah memperkenalkan ETOS lewat training yang dijalankannya mau pun melalui bukunya yang pada edisi revisi paling mutakhir ini mengambil judul 8 Etos Kerja dalam Bisnis. Ia punya mimpi. Dan, mimpinya tak berubah dari dulu. Ia ingin buku karyanya ini tak sekadar pengisi tren musiman memenuhi permintaan pasar sesaat. Melainkan buku yang “….hidup bersama isi yang dikandungnya, memandu dan menginspirasi pembacanya.” Ia membayangkan buku yang ditulisnya itu akan menjadi semacam ‘kitab suci’ para pekerja dalam menjalani apa pun pekerjaannya. Dan karena peran yang penting itu, buku itu pun dibayangkannya akan “….terus hidup hingga melewati abad 21. Bahkan, sintas dari abad ke abad.”

Sejak bulan lalu 8 Etos Kerja dalam Bisnis sudah beredar di toko-toko buku ternama di seluruh Tanah Air. Buku setebal 318 halaman ini adalah cetakan yang kesembilan. Sejak diterbitkan pertama kali pada 1998, buku ini telah mengalami revisi beberapa kali hingga mencapai bentuknya yang seperti sekarang. Mulai dari berbentuk materi training fotokopian hingga menjadi buku yang elegan, 8 Etos seakan tak pernah berhenti dikupas, disiangi, dipupuk dan diperkaya oleh penulisnya. Seiring dengan training Etos yang dikembangkan oleh Jansen Sinamo, permintaan terhadap buku ini terus bertumbuh sementara stok di pasar sudah menipis. Ini pula alasan lain menerbitkan lagi buku ini.

Dalam hampir 10 tahun buku ini sudah dicetak hingga 60 ribu eksemplar. Trainingnya telah diikuti puluhan ribu orang di berbagai tingkatan. Dan Jansen Sinamo, selain dijuluki sebagai Mr Ethos, oleh majalah Campus Asia dinobatkan pula sebagai satu dari 100 Educators of The Year Indonesia, dan salah satu Great Intellectual Impacting Society.


()()()


Pada suatu hari di akhir tahun lalu, Bang Jansen, demikian saya menyapa penulis buku ini, menelepon dan mengajak saya berbincang-bincang sambil menikmati sarapan. Pada saat itu ia mengemukakan niatnya untuk menerbitkan edisi revisi buku 8 Etos. Ia menginginkan saya membantunya sebagai penyunting.

Tentu saja ini merupakan kehormatan besar bagi seorang penulis. Tapi pada saat yang sama, saya merasa berat. Kenapa berat? Karena sudah berkali-kali saya membaca buku 8 Etos karyanya itu dan buku tersebut dalam hemat saya merupakan karya klasik yang nyaris sempurna. Hampir tak ada lubang-lubang yang perlu ditutup. Buku 8 Etos, menurut penglihatan saya, merupakan yang pertama dan terlengkap bila bicara tentang etos di dunia kerja di Tanah Air.Dan karena itu beberapa kali saya mencoba menanyakan kepada Bang Jansen, apakah ia tidak akan merasa menyesal mempekerjakan lagi seorang penyunting bagi buku yang sudah ‘jadi’ itu?

Bang Jansen ketika itu, memberikan jawaban yang tak pernah saya lupa. Menurut dia, dalam tiap pekerjaan yang kita geluti, tiap insan harus bertanya, “Dengan cara apakah (in what way) saya dapat membuat sesuatu itu lebih baik dan lebih sempurna lagi?” Menurut dia, pasti selalu ada cara untuk memperbaiki dan menyempurnakan segala sesuatu. Termasuk pada buku yang telah beredar dan dibaca orang selama 10 tahun tersebut. Bang Jansen bahkan mendorong saya untuk tidak menyakralkan karyanya ini. Ia menganggap bahwa buku itu dalam segala hal masih bisa dipergurih bahasanya atau diperkaya isinya. “Aku malah akan marah jika kau mengatakan tak ada yang dapat diperbaiki dalam buku itu,” kata dia suatu kali, dengan gaya persuasinya yang selalu menyentuh.

Lebih dari setengah tahun kami bekerja dalam pekerjaan penyuntingan itu. Sebagian pertemuan yang kami lakukan untuk membahasnya, dilangsungkan sambil menikmati cemilan di sebuah kafe di bilangan Imam Bonjol Jakarta sambil menyeruput kopi kesukaan kami. Kadang-kadang kami menghabiskan waktu di ruang kerjanya di rumahnya, yang luas dan tenang. Saya menikmati betul pekerjaan ini, meskipun selalu dibayang-bayangi kekaguman kepada Bang Jansen sekaligus kepada dua editor yang sebelumnya telah pernah menangani buku ini, yakni Agus Santosa dan Christina M. Udiani. Menurut saya, mereka telah bekerja dengan sangat baik dan saya hanya memoles sangat sedikit saja untuk edisi revisi 2009 ini.

Tidak ada hari tanpa kegembiraan dalam mengerjakan edisi revisi 2009 ini. Bang Jansen yang fisikawan itu bekerja sangat sistematis dan terencana. Agak bertolak belakang dengan gaya wartawan saya yang kadang-kadang moody dan baru bisa ngebut menjelang deadline. Bang Jansen selalu memberikan semangat. Dan saya pun dengan senang hati tertular oleh aura optimismenya. Ia punya koleksi jokes yang banyak. Yang paling saya senangi adalah lelocon-leluconnya yang berbau filsafat dan tentang keudikan orang Batak. Sambil kami bekerja, mengalir lah cerita-cerita lucunya itu. Tak hanya ketika kami bertemu ia membagi-bagikan keceriaan. Sering juga lewat email atau SMS.

Itu sebabnya, saya tertawa ketika dalam pengantar buku ini, Bang Jansen berkata bahwa ia berterimakasih kepada saya, “…yang dengan kegembiraannya yang khas, bersedia menjadi editor luar biasa sehingga pikiran-pikiran saya meluncur dalam bentuk teks yang lebih gurih dan jernih.” Tidak, Bang Jansen. Bang Jansen terlalu rendah hati untuk tidak mengatakan bahwa sesungguhnya dari dia lah kegembiraan itu saya peroleh. Bila tiap bertemu dengannya saya juga penuh canda dan banyolan melontarkan pertanyaan-pertanyaan menantang pikiran-pikiran Bang Jansen, itu merupakan pantulan dari sukacita yang selalu saya dapatkan dari tawa renyahnya. Juga caranya menyantap makanan dengan lahap, selalu mengagumkan saya. Tak ada makanan yang tak nikmat baginya, yang menyebabkan saya iri. Sebab seringkali enak tidaknya makanan bagi saya dipengaruhi oleh suasana hati.

Di hadapan Bang Jansen, saya kerap berlaku bukan sebagai ‘murid’yang ingin mengeksplorasi kebijaksanaan gurunya. Tapi yang lebih sering sesungguhnya adalah sebagai ‘adik’ yang kadang-kadang nakal tetapi terpesona oleh kecerdasan sekaligus kesuksesan abangnya. Bang Jansen mewarisi tradisi yang sedikit banyak saya kenali dan alami. Sebagai anak sulung dalam keluarga Batak, ia memikul tanggung jawab yang besar dan itu terpantul dalam sikapnya yang selalu menganyomi dan melindungi. Sikap yang saya nikmati betul –bahkan seperti merasa dimanjakan—selama bekerjasama dengan beliau.

Tatkala kami memulai mengerjakan buku ini, Bang Jansen baru saja pulih dari stroke yang menghampirinya hampir setahun. Ia berjalan dengan bantuan tongkat, menyentuh tuts laptopnya dengan tangan kanan yang masih belum bisa digerakkan dengan sempurna. Dan itu dilaluinya dengan senyum kegembiraan manakala kami sudah asyik dalam pekerjaan kami. Saya tahu, di hati kecilnya Bang Jansen mengalami pergumulan menghadapi kendala yang tak ringan itu. Tetapi yang menyenangkan dari semua itu adalah ia percaya bahwa apa yang selama ini ia ‘khotbahkan’ lewat training etos, adalah --dan harus menjadi-- khotbah yang hidup lewat dirinya. Dan karena itu ia yakin akan bisa melalui ini semua dengan baik.

Tidak berlebihan bila salah satu keistimewaan buku 8 Etos Kerja Bisnis edisi revisi ini adalah karena buku ini dikerjakan dengan penghayatan yang lebih intens akan isi buku ini sendiri. Dalam sakit yang dideritanya sambil mengerjakan buku ini, Jansen mengakui, “…etos lebih saya hayati secara internal, makin mendarahdaging, makin menyumsum, makin menulang.” Ketika jatuh sakit yang membawa dirinya seakan-akan berhadap-hadapan dengan pintu kematian, Jansen menyadari perjuangannya sangat ditentukan oleh semangat dirinya sendiri. “Sangat penting untuk tetap memiliki dan memelihara semangat untuk hidup, semangat untuk sembuh, dan semangat untuk pulih seperti sediakala. Dokter-dokter yang merawat saya juga berkata demikian……..Sebab ketika sakit dan lemah, seperti pada kebanyakan penderita stroke, sejumlah penyakit lain ikut membonceng. Seperti rasa rendah diri, patah semangat, malu ketemu orang……Dan para pembonceng ini justru lebih berbahaya daripada boncengannya,” tulis Bang Jansen dalam Prolog buku ini.

Boleh dikata Bang Jansen telah memenangi pertarungannya. Buku ini hanya lah satu bukti. Dan karena itu ia berani mendeklarasikan bahwa, “etos bukan lagi sekadar konsep di otak yang diproduksi oleh kecerdasan…” melainkan “..…ethos trully is my life, my healing, my power.” Etos telah menubuh dalam dirinya sehingga dapat dikatakan Jansen telah menjadi contoh hidup dari etos itu sendiri.

Pengalamannya selama sakit disyukurinya sebagai “contoh hidup dari apa yang saya ajarkan….” Ketika Siddharta Gautama akhirnya menjadi Buddha, maka Buddhisme dan Sidhata tidak lagi terpisahkan. “Dengan penuh kerendahan hati, saya juga berharap ke arah sana lah saya menulis dan merevisi buku ini, yakni menjadikan Delapan etos dan Jansn Sinamo tak lagi dapat dipisahkan,” kata dia.


()()()


Beberapa waktu lalu di facebook saya bercerita kepada teman-teman tentang buku ini dan mengatakan Bang Jansen menyebut saya sebagai “editor luar biasa dengan kegembiraannya yang khas.” Lalu Bakti Tejamulya, seorang rekan penulis yang kini bermukim di negeri Paman Sam meledek dengan berkomentar “…. yang dimaksud dengan kegembiraannya yang khas itu adalah tetap gembira walau dang adong hepeng (nggak punya duit)…..”

Saya tak bisa menahan tawa sendirian ketika membacanya. Betapa lucu dan betapa inginnya saya mengaminkan komentarnya itu. Bakti yang mantan wartawan, rekan karib dulu saling ngeyel-ngeyelan tentang tulisan yang baik mau pun jelek, berani berkata begitu mungkin karena ia mengenal saya. Orang udik yang selalu saja kikuk menghadapi kencangnya perubahan zaman. Yang terlalu sering melankolik dan ‘main hati’ (seperti lagunya Andra and The Backbone) untuk hal-hal yang tak penting. Yang selalu kerepotan dan agak gamang membedakan tangan mana yang harus pegang sendok dan mana yang pegang pisau. Tetapi di atas semua itu, mungkin karena Bakti dan saya berbagi kesadaran yang serupa mengenai apa arti menulis dan bekerja dengan ide. Dimana hepeng tak pernah menjadi bagian paling penting sebagai sumber energi. Sebab dalam keasyikan berkarya, energi paling utama justru adalah kegembiraan.

Dan saya percaya, baik lewat buku-bukunya, mau pun lewat training yang diselenggarakannya, Bang Jansen akan terus menebar kegembiraan.


ciputat, 19 juli 2009


1 comment:

Gloria Limbong said...

Tetap semangat pak Jansen. Tulisan Bapak mengispirasi sekali.
Ketika saya masih menganggur, saya ketemu buku bapak. dan ntah kenapa ada semanagt yang meledak2 dalam diri saya untuk bekerja. Sekarang sepertinya semangat saya turun lagi. Saya harus baca buku bpak lagi deh kayaknya supaya semangat lagi.


Lewat setiap cerita dan tulisan bapak, saya tau bapak orang yang dekat dengan Tuhan. Semoga sakit penyakit tidak membunuh semangat bapak untuk terus berkarya.

Thanks udah bisa menjadi berkat bagi banyak orang.
Tetap berkarya pak jansen.
Give Ur best.

Horas dan God Bless You..

.................................................................................................

Selalu ada pagi. Secangkir kopi. Sepotong cemilan. Dan lalu lintas percakapan. Mulanya pertemuan tidak teratur. Lama-lama jadi rutin. Dan Jansen Sinamo senang hati membagi-bagi pikirannya. Ia percaya pada hukum kekekalan energi. Bahwa keindahan dari menebar rahmat adalah karena suatu saat ia akan kembali kepada penebarnya. Ini lah Candid Talks with Jansen Sinamo, kumpulan laporan coffee morning talk dengan dia, Guru Etos Indonesia. Semoga bermanfaat.Ingin menghubungi Jansen Sinamo? Kontak: Instut Dharma Mahardika, Pulogebang Permai Blog G-11/12, Jakarta 13950; Telp.021-480 `514; Faks 021 4800429