Jum’at 14 November. Kami membuka pagi ini dengan secangkir cappuccino untuknya, segelas black coffee untuk saya. Kesekian kalinya kami berdua ngopi bareng. Lepau Oh La La terasa makin akrab dan bersahabat. Masih sepi. Karena itu kami lebih leluasa memilih tempat duduk yang kami suka. Jansen Sinamo tampak lebih santai. Hari ini jadwalnya longgar, setelah sepanjang tiga hari sebelumnya ia habiskan di luar kota (untuk apa lagi kalau bukan bicara tentang etos). Siang ini, kecuali untuk mengunjungi dokter terapisnya, tinggal satu acara yang menunggunya. Pukul 13:00 nanti menghadiri jamuan makan perayaan 80 tahun Prof.Dr. Midian Sirait.
“Beliau salah satu mentor dan tokoh inspirasi saya,” kata Jansen. “Sampai usia beliau 80 tahun saat ini, beliau tak berhenti berkarya, walau pun sebagian besar karya itu dihasilkan dari atas kursi roda. Itu termasuk hal yang menginspirasi saya agar tetap bersemangat untuk pulih,” tutur Guru Etos sambil tersenyum.
Prof Sirait telah lama dikenal nama dan karyanya di panggung pembangunan Indonesia. Ia pernah menjadi Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM) (1978-1988) yang makin mengokohkan dirinya sebagai tokoh farmasi di Tanah Air. Gelar sarjana muda apoteker ia peroleh dari UI pada 1956 sedangkan gelar sarjana penuh dari Universitas Hamburg, Jerman (1958) dan gelar doktor dari Freie Universitat, Berlin. Ketokohannya di bidang farmasi juga ditopang karier akademisnya sebagai gurubesar ilmu kimia di ITB. Untuk ini, ia antara lain mendapat anugerah Sewaka Winayaroha, yaitu penghargaan pengabdian pendidikan tinggi kepada guru besar ITB yang telah berjasa dalam memajukan dan meningkatkan peranan perguruan tinggi.
Sebagai salah satu figur yang ikut mendirikan dasar-dasar birokrasi kefarmasian, Sirait juga diakui karyanya oleh berbagai badan internasional. Diantaranya adalah Hermann-Thomms medaille dari Asosiasi Ilmuwan Farmasi Jerman Barat atas jasanya di bidang farmasi di Indonesia dan penghargaan dari Presiden Republik Federasi Jerman untuk persahabatan dua bangsa Verdienst kreuz le klasse. Dari organisasi kesehatan dunia WHO, Prof. Sirait dianugerahi Health for All.
Agaknya bidang farmasi terlalu sempit bagi kiprahnya. Maka di luar itu, Prof Sirait dikenal sebagai tokoh politik yang banyak memberikan bimbingan, dorongan dan melahirkan kader-kader muda. Ia termasuk konseptor berdirinya Golkar dan aktif di Dewan Pembina partai itu pada periode 1978-1983. Di masa Orde Baru ia juga selama beberapa periode menjadi anggota DPR dari partai berlambang beringin itu. Di era reformasi ia salah satu pendiri Partai Demokrasi Kasih Bangsa.
Seperti yang dilaporkan oleh media massa, pada perayaan ulang tahunnya ke 80 Prof Sirait meluncurkan buku yang diberi judul Revitalisasi Pancasila; Catatan-cacatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial. Menurut media massa yang memberitakan acara itu, buku tersebut melibatkan nama-nama seperti Rahman Tolleng, Marzuki Darusman, Anhar Gongong dan Abdul Hadi WM. Hadir dalam peluncuran buku tersebut antara lain Akbar Tanjung, Ketua DPR RI Agung Laksono, mantan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudohusodo, mantan Kapolri Awaloeddin Djamin, mantan Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara dan adik mantan Presiden Abdurahman Wahid, Salahuddin Wahid. “Pemikiran beliau mempengaruhi banyak aktivis pada jamannya termasuk saya,” ujar Akbar yang mengakui bertemu secara langsung dan berkenalan dengan Prof. Sirait sejak 1973.
Di kalangan Batak sendiri, perhatian Prof Sirait terutama diwujudkan lewat kepeduliannya pada masalah-masalah pembangunan daerah, pendidikan dan kebudayaan. Ia telah lama menjadi orang yang dituakan, tempat meminta nasihat mau pun sokongan sumberdaya. Bukan rahasia lagi, bahwa sebagai jejaring kekerabatan, Sirait sebagai fam menjadi salah satu yang terdepan di Indonesia, terutama di Jakarta. Andil Prof Sirait termasuk besar dalam hal ini. Bersama dengan tokoh Batak lainnya, ia juga ikut mengusulkan dan memrakarsai pendirian propinsi Tapanuli.
Jansen berkenalan dengan Prof Sirait dalam kepengurusan Perhimpunan Pencinta Danau Toba. Beberapa tahun lalu, atas inisiatif sejumlah tokoh Batak dibentuk lah perhimpunan itu. Menteri Pertanian kala itu, Bungaran Saragih, duduk sebagai ketua sedangkan Prof Sirait sebagai ketua pelaksana harian. Alm Raja Inal Siregar sebagai gubernur Sumatera Utara, rupanya punya saran yang bagus. Ia ingin agar kepengurusan perhimpunan tersebut mencakup keseluruhan unsur etnik Batak di Sumatera Utara. Jadi lah Jansen Sinamo diminta bergabung, mewakili Batak Pakpak. Awalnya ‘cuma’ sebagai bendahara IV. Namun dalam perjalanan kepengurusan periode berikutnya, Jansen duduk menjadi sekretaris. Ini yang membuat hubungannya dengan Prof Sirait semakin intens.
Prof Sirait pernah mengalami kelumpuhan, seperti yang dialami Jansen kini. Ceritanya, suatu hari, dulu, tatkala usianya menginjak angka 60-an, Prof Sirait harus menjalani operasi di Jerman. Terjadi sebuah ‘kecelakaan.’ Salah satu urat syarafnya terpotong secara keliru. “Bayangkan, dokter Jerman juga ternyata bisa melakukan kesalahan,” kata Jansen. Kekeliruan itu menyebabkan Prof Sirait tak lagi bisa secara sempurna berjalan. Kemana-mana ia harus menggunakan tongkat.
Tapi itu tak mematahkan semangatnya. Tongkat itu terus-menerus menjadi saksi produktivitas Prof Sirait, menemaninya kemana saja pergi. Tongkat dengan pegangannya berkepala burung dengan paruh terbuka itu, cukup lama menjadi sahabat setianya, hingga kemudian usia mengharuskan Prof Sirait membutuhkan perangkat lain, yakni kursi roda. Tongkat itu harus diistirahatkan, tetapi hanya untuk sementara waktu. Sebab jasa sang tongkat kini kembali dibutuhkan. Kali ini yang membutuhkannya adalah Jansen Sinamo, yang di usianya ke 50, sebelah tubuhnya belum sempurna bergerak akibat terserang stroke ringan. “Beliau menghadiahkan tongkat itu ketika menjenguk saya,” kata Jansen. Memang bagian bawah tongkat terpaksa dipotong beberapa sentimeter karena terlalu panjang. Prof Sirait mempunyai ukuran tubuh di atas ukuran orang Indonesia, demikian pula tongkatnya. Perlu penyesuaian ketika Jansen harus menggunakannya.
()()()
Jansen Sinamo, lelaki kelahiran Sidikalang itu, yang di masa kecilnya masih bisa membayangkan bagaimana menikmati telur dadar yang dilebar-lebarkan hingga seukuran piring untuk disayat-sayat dan dibagi-bagi kepada dia dan tujuh adiknya yang lain, telah mengayuh bahtera hidupnya melampaui banyak hal yang tak pernah direncanakannya. Sebagai Guru Etos, kebanyakan waktunya memang dihabiskan di depan audiens, berbicara, memotivasi, melatih dan memberi pencerahan. Tetapi bersamaan dengan itu ia juga menjelajah berbagai panggung lainnya. Membawanya berkenalan dengan tokoh-tokoh yang kemudian dianggapnya membimbingnya, memberi jalan baginya dan karena itu lah Jansen selalu percaya bahwa sukses bukan proses yang soliter. Sukses tak kan pernah berjalan sendirian.
Ini memang selalu mendatangkan pertanyaan usang tetapi menarik. Ketika bekerja untuk mendudukkan letak tokoh yang ditelitinya seobjektif mungkin, para sejarawan dan biographer kerap berandai-andai dengan pertanyaan yang tak mungkin ditemukan jawabannya secara persis. Yakni, apakah sejarah telah dengan sengaja memanggil dan memilih tokoh dimaksud untuk memainkan peranannya, sehingga seandainya jarum jam diputar ulang dan berbagai kejadian sejarah disusun seperti menyusun puzzle-puzzle sesuai pada tempatnya, tokoh tersebut akan tetap tampil dengan peran yang dimainkannya itu sama baik (atau buruknya) dengan apa yang sudah terjadi? Atau sejarah sesungguhnya hanya sebuah mesin yang bergerak dengan sendirinya, yang pasti akan mendapati tokoh yang dimunculkannya, kalau bukan si A, pasti si B, dan karena itu peristiwa bersejarah harus tetap berlangsung dengan atau tanpa tokoh tertentu itu?
Sekali waktu Taufik Abdullah menulis dalam pengantar buku Manusia dalam Kemelut Sejarah: “Apakah nabi Muhammad SAW akan tetap hijrah, jika saja pamannya Abu Thalib tak meninggal dan pamannya yang lain, Abu Jalal, tidak memusuhinya? Bagaimana jadinya dengan Orde Baru jika saja Bung Karno segera mengutuk PKI?.......Setelah Julius Caesar terbunuh, Agustus muncul dan ia kemudian meletakkan tradisi kekaisaran Roma. Setelah Nabi hijrah, sistem kenegaraan Islam mulai diletakkan. Setelah kejatuhan Bung Karno, pemerintah Orde Baru mulai…” Daftar ‘seandainya’ ini masih dapat diperpanjang. Termasuk dengan bertanya: seandainya Columbus 500 tahun lalu berhasil menemukan jalur baru menuju India, apa nasib negara adi daya Amerika Serikat yang memunculkan presiden kulit hitam pertama di 2008 ini? Dan jika Jansen Sinamo tak meninggalkan Dale Carnegie dalam perjalanan hidupnya, apakah Indonesia akan mengenal seseorang dengan julukan Guru Etos, atau ‘sejarah’ akan memberikan peran itu kepada tokoh lain?
Teori tentang sukses juga sering berangkat dari titik tolak yang sama dengan pertanyaan berandai-andai itu. Menurut Jansen Sinamo, pada dasarnya teori sukses terbagi pada dua pandangan umum. Pertama, sukses digambarkan sebagai proses yang linear. Hubungan sebab-akibat. Sukses sepasti pelajaran mencongak tatkala di SD dahulu. Bila sudah rajin sejak kanak-kanak, disiplin, punya misi dan visi yang jelas, maka sukses akan tercapai, semudah memetik buah mangga yang ranum di pohon.
Tetapi ada pandangan kedua. Sukses tidak sesederhana itu. Dalam perjalanannya ada berbagai proses interaksi berbagai faktor di luar diri sang subjek plus interaksi berbagai faktor itu dengan diri si subjek sendiri. Proses itu, yang dalam berbagai khasanah ilmu kerap digambarkan dengan kata, emerge, emergence, pemunculan atau kebangkitan ikut menentukan secara substansial kesempatan seseorang meraih apa yang diinginkannya, memainkan perannya dalam sejarah.
Sebuah penjelasan menggambarkan emergence itu sebagai berikut:
When we think about emergence we are, in our mind's eye, moving between different vantage points. We see the trees and the forest at the same time. We see the way the trees and the forest are related to each other. To see in both these views we have to be able to see details, but also ignore details. The trick is to know which of the many details we see in the trees are important to know when we see the forest.
....the observer considers either the trees or the forest. Those who consider the trees consider the details to be essential and do not see the patterns that arise when considering trees in the context of the forest. Those who consider the forest do not see the details. When one can shift back and forth between seeing the trees and the forest one also sees which aspects of the trees are relevant to the description of the forest. Understanding this relationship in general is the study of emergence.
Bila itu dikaitkan dengan perjalanan dirinya, Jansen mengatakan ia memberi perhatian besar pada pandangan kedua itu. Tatkala ia merenung-renungkan, ‘memutar ulang’ gambar kehidupan masa kecil dan perjalanan hidupnya hingga sejauh ini, ia mengakui banyak hal yang dicapainya kini adalah juga berkat munculnya proses emergence, interaksi beraneka hal dan kejadian yang sulit diterangkan, tetapi itu lah yang memunculkan kesempatan baginya untuk menorehkan peran yang ia lakoni.
Ke dalam berbagai fenomena emergence ini dalam hidupnya, menurut Jansen, adalah pertemuan dan selanjutnya perkenalannya secara intens dengan tokoh-tokoh yang kelak dianggapnya mentor atau tokoh inspirasinya. Prof Sirait adalah salah satunya. Dan, Jansen tidak pernah ingin melupakan para tokoh yang hadir dalam hidupny. Banyak diantara perkenalan itu tak pernah dengan sengaja dirancang apalagi ditargetkan. Sebagai contoh, ia diminta bergabung pada Perhimpunan Pencinta Danau Toba pada awalnya hanya untuk menggenapi personil yang sudah ada. Tetapi pada perjalanan selanjutnya ia mendapat porsi lebih dari yang ia bayangkan. Dan semua itu berjalan seolah diatur oleh ‘invisible hands’ yang tak dapat dijelaskan.
Bila bicara tentang aneka peristiwa lain yang menentukan dalam hidupnya, proses emergence itu kerap lebih absurd dan lucu lagi. Beberapa kejadian bahkan terjadi karena ‘kecelakaan’ yang sesungguhnya ingin dihindari, tetapi pada akhirnya semua itu justru memberi peluang baginya menapaki lompatan-lompatan hidup yang lebih tinggi dan lebih besar. Baik dalam artian kehidupan yang lebih sejahtera mau pun karya yang lebih dikenal secara lebih luas.
Itu sebabnya Jansen percaya pada apa yang disebut serendipitas. Dan ia percaya hal itu datangnya dari Yang Maha Kuasa. Semacam proses emerge yang hanya Dia yang tahu. Rahmat yang diberikanNya kepada umatnya, mungkin sebagai kejutan, tetapi mungkin juga sebagai belas kasihan. Sama seperti Jansen percaya pada hubungan kasualitas dalam berbagai aspek dalam hidup, pada saat yang sama ia juga percaya pada apa yang dikenal sebagai serendipitas tadi, yaitu suatu kejadian menemukan atau memperoleh sesuatu yang bernilai tanpa mencarinya.
“Satu serendipitas, saya alami pada April 2001 di suatu hotel di Jakarta," kata Jansen, dalam bukunya, Delapan Etos Profesional. “Saya akan memimpin sebuah program pelatihan di sana dan karena tidak ingin terlambat, saya pun berangkat pagi sekali. Alhasil saya tiba terlalu pagi. Baru sebentar duduk membuka Koran, tiba-tiba satu wajah yang familiar muncul di depan mata. Sudah tujuh atau delapan tahun saya tidak melihatnya. Dia ada janji dengan orang lain dan datang terlalu pagi seperti saya. Kami pun segera memesan kopi. Dari kartu namanya segera saya sadar bahwa dia kini menjadi CEO sebuah perusahaan computer. Dan kebetulan saya punya masalah di bidang itu. Saya pun mulai bercerita. Karena keahian saya di bidang pelatihan, segera pula dia melihat peluang kerjasama. Dia membutuhkan keahlian dan jejaring saya. Singkatnya kami berjanji untuk bertemu lagi untuk membahas kerjasama lebih lanjut. Sebuah serendipitas, rahmat khusus yang melawat kami,” tulis Jansen.
Munculnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, menurut Jansen, adalah contoh dari proses emerge tersebut. Kesuksesan pria yang pernah menjalani masa kecilnya di Jakarta itu, menurut Jansen, bukan semata karena hasil kerja keras dirinya mempersiapkan diri sejak kecil untuk mencapai yang diangankannya, tetapi juga adalah hasil dari proses emerge berbagai faktor di luar dirinya yang memberi kesempatan bagi pemunculannya.
Dengan kata lain bukan hanya Barack Obama yang bekerja dalam kaitan ini tetapi perubahan masyarakat Amerika juga ikut memberi andil bagi terciptanya sejarah baru, di Amerika bahkan di dunia. Seandainya pun ada tokoh kulit hitam yang lebih hebat dari Barack Obama sepuluh tahun lalu, ia mungkin tidak akan mendapatkan kesempatan seperti yang dimiliki Obama sekarang.
Bagi Jansen keyakinan bahwa sukses adalah hasil dari proses emerge tidak berarti mengeliminasi pandangan pertama yang mengatakan bahwa sukses adalah hasil dari inisiatif, kerja keras, disiplin, rencana dan visi. Pandangan kedua, menurut Jansen, justru untuk memberi kesempatan bagi kita untuk lebih kuat dan optimistis menjelaskan kenyataan. Dengan begitu, ketidakberhasilan mencapai apa yang dicita-citakan, berbeloknya kenyataan dari apa yang kita rencanakan, tidak lantas menghadirkan rasa frustrasi apalagi ngambek pada hidup.
()()()
Jansen menghirup kopi dari gelasnya. Dari balik kaca, tampak oleh kami orang berlalu lalang di luar. Pagi masih muda dan kami masih punya banyak waktu. Sekali lagi Jansen mengangkat gelas dan menikmati capucciono-nya. “Kopi sudah jadi bagian hidup saya sejak kecil. Kami orang Sidikalang tak bisa hidup tanpa kopi,” katanya sambil tersenyum. Dan perbincangan kami pun berlanjut.
(bersambung).
Ciputat, 23 November 2008
keterangan dan sumber foto:
(1) Jansen Sinamo berpose di lepau Oh La La dengan tongkat.
(2) Prof Dr Midian Sirait menyerahkan bukunya kepada beberapa tokoh. Sumber: www.bangakbar.com
4 comments:
Horas!!
Emergence itu seperti talas di kaki bukit. Saling dukung dan saling bantu untuk menahan berbagai gempuran hahahaha. Horas bah, maulite
Paten kali. Mantap! Mainkan terus Habatahon i ate....
Paten kali. Mantap! Mainkan terus Habatahon i ate....
Paten kali. Mantap! Mainkan terus Habatahon i ate....
Post a Comment