Ketika membuka pintunya dan melangkah masuk, yang saya temukan di kafe itu ternyata jauh dari yang terbayangkan. Bukan para eksekutif muda klimis-klimis yang nongkrong di situ. Melainkan orang-orang dari berbagai belahan dunia dan dari berbagai belahan zaman. Masing-masing dengan gayanya. Masing-masing dengan ceritanya.
Saya agak kikuk pada awalnya. Untung ada si empunya kafe yang ternyata bukan sekadar businessman tetapi juga orang bijak penebar kebajikan. Seperti para sophis di zaman-zaman kejayaan Yunani dulu yang melahirkan istilah philospher, yakni pencari kebajikan. Dari si empunya kafe lah saya mengerti serba sedikit siapa saja orang aneh yang nongkrong di kafe itu. Dan mengapa mereka ada di sana.
"Nah, lihat. Itu yang berkumis, yang duduk paling dekat ke pintu, namanya Nasruddin." Si empunya kafe berkata tanpa saya tanya. Mungkin ia memang sudah melihat wajah ingin tahu saya. "Nasruddin itu punya cerita heboh tentang kumisnya," kata dia lagi.
Oh ya?
Nasruddin itu ternyata seorang sahabat raja. Ia dapat dengan bebas keluar masuk istana untuk memberi nasihat atau sekadar bersenda gurau dengan sahabatnya yang jadi penguasa itu. Itu sebabnya, suatu hari ia begitu saja nyelonong ke istana. Dengan wajah gundah, kalut dan panik.
Ia menghampiri Raja dan berkata dunia akan segera kiamat. Soalnya dimana-mana ia mencium bau yang tidak enak. Bau busuk. Di kamar, di ruang tamu, di jalanan, di lapangan, pokoknya di seantero negeri. Menurut Nasruddin, Tuhan sedang marah dan Dia akan menghukum dunia.
Sang Raja heran tetapi tak ikut panik. Ia malah menenangkan Nasruddin. Ia menyuruh Nasruddin mandi dan membersihkan diri. Dan, sekembali dari mandi dan membersihkan diri itu, sang Raja bertanya kepada Nasruddin apakah ia masih mencium bau busuk itu. Nasruddin menggeleng sambil bertanya-tanya, kemana gerangan aroma tak sedap itu berlalu.
Sang Raja kemudian berkata bahwa sebenarnya tidak ada yang bau. Sesungguhnya Nasruddin sendiri lah sumber bau tak sedap itu. Sebab, malam sebelumnya ketika tidur, tanpa sadar anak bungsunya memegang kotorannya sendiri dan mengoleskannya ke kumis Nasruddin. Bau tak sedap yang menempel di kumis itu lah yang terbawa kemana-mana, yang menyebabkan Nasruddin panik dan merasa dunia akan kiamat.
Ketika si empunya kafe mengakhiri kisah itu, saya tak bisa menahan tawa.
"Lucu juga ya?" kata saya kepadanya.
Si empunya kafe ikut tersenyum. Tetapi ia mendekatkan wajahnya dan berbisik kepada saya. "Jangan ambil lucunya saja. Ambil juga pesan cerita lucu itu."
Apa pesannya?
Si empunya kafe tampaknya ingin menjawab, tetapi ia sudah harus melayani tamu lain. Karena itu ia menyodorkan selembar kertas, berisi tulisan tangannya kepada saya. Isinya ternyata adalah pesan dari kisah lucu itu:
"Kita sering melihat dunia ini kotor dan jorok, mencium negeri ini busuk dan tengik, atau merasa bangsa ini kumuh dan kacau. Mungkin itu benar, tapi mungkin juga tidak. Bisa jadi perasaan, penglihatan dan penciuman semacam itu cuma disebabkan 'kumis' kita yang cemar.
Karena itu hendaklah kita rutin membersihkan kumis sendiri. Itu berarti kita harus membebaskan diri, hati dan pikiran kita dari prasangka-prasangka negatif, konsep-konsep yang belum tentu benar, teori-teori yang belum terbukti atau kabar-kabar kabur sebelum kita menilai dan menghakimi sesama….."
Hmmm. Boleh juga pesan ini, pikir saya di dalam hati. Tak saya sangka jika cerita kocak Nasruddin itu dapat memberi pesan sebagus ini. Apalagi ketika saya melanjutkan membaca pesan itu:
" Orang terkadang bertanya: dimanakah Tuhan Sang Mahapemurah itu? Ada pula yang berpikir: pekerjaanku bukan karunia-Nya, melainkan usahaku sendiri saja. Namun bisa jadi pendapat demikian berasal dari 'kumis' yang terkontaminasi. Orang bijak bilang, kalau kita menjernihkan hati dan membeningkan jiwa, maka kita akan melihat the invisible hands of God yang memelihara, menuntun dan membantu kita. Kita akan melihat begitu banyaknya rahmat di dalam dan melalui pekerjaan kita…. Itulah yang menuntun kita untuk bergaul mesra dengan rahmat, hidup tuntas dalam anugerah, berkolaborasi erat dengan roh kebaikan semesta sehingga kita mampu menikmati bahkan turut memproduksi pelbagai kebajikan. Itulah salah satu makna Etos 1: Kerja adalah rahmat: aku bekerja tulus penuh syukur..."
Hebat betul kafe ini. Itu menyebabkan saya tergerak lagi mendekati meja-meja lain. Sebab di sana sudah duduk tokoh-tokoh lain yang mungkin membawa segudang cerita pula. Ada Jengis Khan si kaisar Mongol, ada Raja Alfred dari Inggris, ada si Rajawali di Kampung Indian dan banyak lagi. Saya sungguh ingin tahu lebih banyak lagi cerita tentang mereka. Juga ingin tahu pesan apa yang ingin mereka sampaikan dari kisah-kisah hidup mereka.
Maka saya pun meneruskan petualangan saya di kafe ini. Sebuah kafe bernama antik, yakni KAFE ETOS....
***
Sebelum pembaca merasa terkecoh, baik lah saya bicara jujur. Bahwa KAFE ETOS yang saya ceritakan itu bukan lah kafe seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Yakni kafe tempat duduk-duduk menikmati nyamikan kecil dan minuman ringan sambil melepas lelah.
KAFE ETOS yang ini adalah buku karya Jansen Sinamo dan Hendri Bun. Judul lengkap buku itu adalah KAFE ETOS, 24 Kisah Renyah untuk Memperkuat Etos Kerja Unggul. Diterbitkan oleh Institut Mahardika sejak Juni 2006, buku ini dimaksudkan merupakan sisi ringan dari buku 8 ETOS KERJA PROFESIONAL, karya unggulan Jansen Sinamo yang sudah lebih dulu terbit.
Kisah Nasruddin yang saya kutipkan di atas adalah salah satu isi buku ini. Yang saya maksud dengan pemilik kafe adalah Jansen Sinamo. Sebab peranannya dalam buku ini memang sedikit mirip dengan pemilik kafe. Ia menggiring tamunya menikmati hidangan yang enak. Tapi pada saat yang sama, membantu kita menginterpretasikan nikmatnya sajian di kafe itu.
Rupanya Jansen Sinamo masih menganggap karya terdahulunya terasa berat sehingga ia meluncurkan buku baru ini. Buku terdahulu itu memang berat dalam arti tebalnya. Berat dalam arti harganya. Dan, mungkin, berat juga dalam soal isinya yang sangat menukik ke dasar-dasar etika dan filsafat kerja. Buku 8 ETOS KERJA PROFESIONAL, tebalnya 286 halaman. Dulunya Jansen menargetkan bisa menjual sampai satu juta eksemplar. Kenyataannya yang terjual hingga kini baru 300 ribu eksemplar.
Sesungguhnya dengan jumlah itu 8 ETOS KERJA PROFESIONAL sudah tergolong luar biasa dan masuk best seller untuk ukuran Indonesia. Tetapi begitulah Jansen Sinamo. Ia tak mau menyerah. Tokoh yang kerap digelari sebagai Guru Etos itu, ingin agar sebanyak mungkin orang dapat ia sentuh dengan nilai-nilai yang ia ajarkan lewat 8 Etos kerja profesional itu. Ia ingin lebih membumi lagi dengan membuat versi lebih ringan dari buku master piece nya itu.
Maka lahir lah KAFE ETOS, yang berupa kumpulan kisah-kisah klasik ringan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebajikan. Saya kira di sana lah keistimewaan buku ini. Barangkali, banyak diantara kisah-kisah itu sudah pernah kita baca. Apakah lewat internet, lewat buku lain atau dikisahkan oleh guru mau pun sahabat kita dulu di zaman sekolah. Kisah-kisah Nasruddin sendiri, misalnya, sangat populer sebagai anekdot. Bermiripan dengan kisah-kisah Abunawas.
Namun di KAFE ETOS kisah-kisah semacam ini jadi bernilai tambah karena penulis buku ini, Jansen Sinamo dan Hendri Bun, tak hanya mengantarkan kita kepada kisah-kisahnya. Lebih jauh, mereka membantu pembacanya menginterpretasikannya menjadi nilai-nilai, yang kemudian dirumuskan sebagai ETOS KERJA PROFESIONAL.
Tak mengherankan bila di KAFE ETOS kita tak berhenti-hentinya terhenyak manakala membaca hasil interpretasi mereka atas kisah-kisah yang disajikan. Kita seperti disadarkan, dicerahkan bahkan kadang-kadang seperti dipergoki juga, bahwa sebetulnya kita juga lah yang sering berlaku konyol seperti yang ada pada kisah-kisah itu.
Penjelasan dalam kata pengantar buku ini tampaknya tepat. Bahwa buku ini diberi judul KAFE ETOS karena merunut pada pengertian kafe. Yakni a small restaurant selling light meals and drinks. Tempat kita menikmati makanan dalam suasana santai, informal dan akrab. Makanannya ringan, tidak mengenyangkan, tetapi masih ada juga lah gizinya. Boleh juga dikatakan bahwa sajian di KAFE ETOS adalah semacam pembuka, appetizer bagi menu utama yang bakal datang dan yang mengenyangkan.
Seperti yang kemudian saya dapatkan pagi itu....
***
Jum'at 17 November 2006. Arloji menunjuk angka sembilan lebih sedikit. Dengan tergopoh-gopoh saya duduk di sofa empuk di coffee shop Mandarin Hotel. Di depan saya ada Jansen Sinamo. Ia dikenal sebagai speaker, trainer dan belakangan sangat populer dengan sebutan Guru Etos.
Inilah untuk keduakalinya kami bertemu di tempat ini dengan tujuan serupa. (Pertemuan sebelumnya dapat dilihat di Ngopi Bareng Jansen Sinamo). Yakni ngobrol ngalor-ngidul tentang apa saja, tetapi seperti yang sudah-sudah, arahnya pastilah ke aneka perihal nilai-nilai hidup dalam berkarya.
Bila berhadapan dengan beliau ini, saya sering diingatkan pada Thales dari Miletus, yakni tokoh yang kerap disebut-sebut filosof pertama sebelum Socrates. Soalnya, Thales yang diperkirakan hidup pada tahun 600 sebelum masehi itu, selain sebagai filosof, adalah juga pebisnis. Para pengikutnya kerap berdebat perihal ini. Ada yang bilang, Thales memang pada dasarnya adalah pebisnis. Tapi yang lain bilang, Thales adalah pemikir (thinker). Ia berbisnis hanya ingin membuktikan bahwa pengetahuan yang ia miliki bukan hanya bisa ia manfaatkan untuk jadi filosof, tetapi juga untuk berbisnis.
Jansen Sinamo, tak hanya dari penampilannya ia dapat disebut sebagai pebisnis. Kiprahnya dalam lembaga pelatihan Institut Mahardika yang ia dirikan bersama Andrias Harefa, intensitas pergaulan dengan klien-kliennya yang sebagian besar adalah korporasi terkemuka, dan juga materi pelatihan-pelatihannya yang adalah untuk kalangan pebisnis dan kaum terpelajar, semuanya tak bisa memisahkan dirinya dari sebutan sebagai pebisnis.
Berbincang dengan Jansen Sinamo adalah bersiap untuk mendapat sajian berupa pikiran-pikirannya yang selalu menukik ke hal-hal mendasar. Terkadang sangat filosofis. Tak terduga-duga tetapi justru dengan begitu lah dia menghanyutkan. Mendengar Jansen bercerita selalu membawa saya selangkah lebih maju untuk mempertanyakan untuk apa kita bekerja dan bahkan untuk apa kita hidup.
Tampaknya latarbelakang Jansen sebagai fisikawan yang banyak menggali pemikiran satu filosof ke filosof lainnya, plus keakrabannya dengan kalangan bisnis berikut kajian-kajian kontemporer di bidang itu, membawanya bisa memberi pemahaman yang mendalam tentang arti bekerja dan berkarya. Selanjutnya menunjukkan arah bagi siapa saja yang mempertanyakannya.
Namun yang lebih menyenangkan lagi berbincang dengan dia adalah karena ia tidak membungkus penjelasannya dengan pesan-pesan moral yang usang lalu membelenggu kebebasan berpikir. Melainkan ia menggugah, menyegarkan, membawa saya dari satu anak tangga pemahaman ke anak tangga pemahaman lainnya.
Jansen dengan enak membantu saya memamah rupa-rupa pemikiran filosof zaman dulu hingga kini. Kadang-kadang menjelajah ke negeri Yunani. Sebentar lagi hinggap di Mazmurnya Raja Daud. Ia juga bisa tajam membedah Slavoj Zizec. Tetapi juga tak bisa menahan diri bernostagia dan mengutip umpasa (pantun) raja-raja adat di tanah kelahirannya di Sidikalang, Sumatera Utara.
Dan semua itu ia lakukan sambil kami berdua mengunyah chicken wings dan potato chips di coffee shop yang nyaman dan dingin itu. Tak ada satu pun text book filsafat di tangannya. Semua nama-nama itu dan pemikiran-pemikirannya, ia gali dari ingatannya. Saya kerap curiga. Jansen Sinamo ini apakah seorang Thales yang pengusaha lagi menyamar jadi filosof, atau seorang filosof yang menafkahi hidup dengan berbisnis?
Tetapi saya kira tidak ada bedanya dan tidak penting membedakannya. Bagaimana pun Jansen Sinamo sebagai Guru Etos, Guru yang menyadarkan murid-murid pelatihannya akan pentingnya memahami demi, untuk dan karena siapa manusia bekerja (lalu hidup), adalah Guru yang memang penting di zaman seperti sekarang. Zaman ketika krisis demi krisis kerap mengguncang pemahaman. Zaman pancaroba yang menyebabkan kita hidup gamang.
Saya pernah membaca di majalah The Economist, tentang munculnya lembaga-lembaga pelatihan eksekutif di Amerika Serikat yang menggali nilai-nilai klasik dalam materi pelatihannya. Kecenderungan seperti ini muncul setelah berbagai skandal korporasi meledak di negeri Paman Sam itu. (Lihat juga tulisan saya Shakespeare Hidup Lagi). Lantas publik mempertanyakan nilai-nilai apa sebenarnya yang menggerakkan bisnis di negeri adi daya itu. Dan orang menoleh ke belakang. Ke hal-hal mendasar. Kepada nilai-nilai yang tak lekang dimakan zaman.
Lebih jauh, pernah juga saya baca cerita tentang para eksekutif di berbagai negara maju yang makin membutuhkan terapi jiwa di tengah kegalauan mereka dalam menghadapi perubahan bisnis yang makin cepat. Tetapi terapi itu tidak mereka cari pada para psikolog, melainkan kepada para filosof. Yang mereka butuhkan barangkali bukan jawaban-jawaban, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Atau pertanyaan lama dalam bentuknya yang baru. Untuk kemudian si penanya menemukan dan menggali sendiri jawabannya. Dan itu lah yang disediakan oleh para filosof.
Pagi itu tak terasa lebih dari tiga jam kami berbincang. Ketika kami akan mengakhiri perjumpaan itu, makin yakin saya bahwa sangat lah penting kehadiran orang-orang seperti Jansen. Yakni Guru yang mengajar kita bukan sekadar bagaimana bekerja, tetapi juga untuk apa kita bekerja.
Dan, ketika saya melamun begitu, ia memberi saya beberapa buah buku KAFE ETOS. Saya kemudian mengucapkan terimakasih. Dan sambil menuruni tangga menuju lobi Mandarin Hotel itu, saya berkata dalam hati, mudah-mudahan KAFE ETOS milik Jansen juga menjelma dalam bentuk kafe yang benar-benar kafe. Maksud saya adalah sebuah kafe yang secara sungguh-sungguh dibuat untuk jadi tempat kongkow-kongkow para pekerja, para profesional dan para eksekutif untuk berbicara tentang aneka perihal di seputar filsafat. Ada Jansen Sinamo yang bisa jadi fasilitatornya. Juga Dr. Martin Sinaga Sth, dan Ignas Kleden, yang adalah karib Jansen juga.
Wah… pasti asyik bila ada kafe semacam itu.
24 November 2006
(c)eben ezer siadari
No comments:
Post a Comment