Episode Telepon Tak Terduga
Sore-sore tanggung di kantor, ketika gelas kopi di hadapan sudah hampir kosong, adakalanya kursor di layar monitor tak bisa lagi bergerak lebih jauh. Pertanda naskah di hadapan kita mungkin tak bisa lagi diteruskan pengerjaannya, karena otak sudah stuck dan butuh rehat barang beberapa menit. Bila sudah begitu, saya biasanya bersiap-siap untuk pergi nongkrong di Warung Bu Sri di depan kantor, seperti sore itu. Saya sudah hendak siap-siap menuju ke sana, ketika, eh, irama Fur Ellise dari ponsel di atas meja berkumandang. Gelagapan saya mengangkatnya karena nomor di layar tak tercatat di address book. Ketika saya tempelkan di telinga, suara semerdu penyiar radio terdengar dari seberang. Suara seorang pria.
“Halo, ini Bung Eben ya? Jansen Sinamo di sini.”
Jansen Sinamo?
Tergagap-gagap saya sejenak. Tak tahu mau bicara apa. Mimpi apa saya ditelepon seorang Jansen Sinamo?
Jansen Sinamo itu ibarat dewa. Ia ada di langit yang ketujuh. Saya di bumi. Tidak pernah bertemu dan berkenalan dengan dia. Dan memang samasekali tidak berniat. Sebab, dia itu bagi saya sudah tak terjangkau. Sudah cukup tahu siapa dia dari iklan-iklan pelatihan dan seminar yang sering menampakkan foto besarnya di koran-koran. Juga saya sudah kerap membaca tulisan tentang dia mau pun tentang materi pelatihan yang ia berikan. Dan karena itu saya selalu meyakinkan diri untuk tak usah berharap berkenalan dengan dia. Cukuplah saya dekat dengan Andrias Harefa, rekan kerjanya yang lebih junior, kawan yang baik yang dengan dia saya bekerja sama menulis buku tentang Ciputra.
Riwayat hidup Jansen Sinamo membuat saya makin merasa ia bukan tipe yang bisa jadi teman akrab bagi orang yang suka slenge’an dan agak alergi pada hal-hal abstrak seperti saya. Bayangkan. Jansen itu adalah seorang fisikawan lulusan ITB. Pernah menjadi seorang seismic engineer pada industri perminyakan dan terlibat dalam bidang advokasi lingkungan dan pengentasan kemiskinan di sejumlah LSM. Namun, minatnya yang paling dalam selain kepada Ilmu Fisika adalah pada filsafat, teologia dan sosiolog. Lalu selama lebih dari 10 tahun ia membenamkan diri sebagai instruktur pada Dale Carnegie Training, melatih orang untuk menjadi pembicara yang baik.
Situs www.tokohindonesia.com, menggambarkannya begini:
Selama di Dale Carnegie Training, Jansen berhasil menyelesaikan dan mendapat lisensi untuk mengajar semua jenis pelatihan yang ditawarkan, seperti management course, leadership course, sales course, professional development course, presentation skill, strategic presentation workshop, dan sebagainya. Ibarat pemain catur, ia sudah menjadi seorang grand master.
Karier Jansen semakin bersinar. Beberapa tahun kemudian , ia diangkat menjadi orang pertama di Indonesia yang mendapatkan kepercayaan dari Dale Carnegie untuk melatih dan memberikan sertifikasi kepada para calon instruktur. Tanggungjawab yang diterimanya itu dikerjakannya dengan penuh kebanggaan. Cakupan wilayah yang ditanganinya tidak hanya Indonesia, tetap mencakup ASEAN.
Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis multidimensi. Hatinya tersentuh dan tergerak untuk berbuat sesuatu bagi bangsa dan negaranya. …(cut) Karena itulah Jansen yang peduli melihat bangsanya terpuruk ingin berbuat sesuatu. Ia melihat bahwa Indonesia membutuhkan perubahan dan fundasi perubahan itu adalah etika, bidang yang sudah lama ia gumuli. Lalu apa yang bisa ia lakukan? Ia pun keluar dari Dale Carnegie. Ia mulai memutar otak, mengolah pemikirannya, membuka kembali buku dan bahan kuliah yang lama semata-mata untuk menuntaskan pergumulan batinnya. Layaknya sebuah puzzle, ia mengerahkan dan menggunakan semua ilmu yang pernah diperolehnya hingga terciptalah sebuah konsep dan formulasi yang diyakininya adalah bagian dari solusi untuk bangsa ini. Konsep itu dinamakannya Etos Kerja Profesional
Bagi Jansen, Etoslah basis dari semua sukses. Bagi Jansen, semua orang, kelompok atau organisasi hanya akan mencapai sukses sejati bila pada dirinya dan diri institusi itu berkembang etos yang mendukung pencapaian sukses itu. Bagi Jansen, Etos yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai keyakinan dan prinsip-prinsip yang jadi panduan bagi individu, kelompok mau pun organisasi, adalah kunci bagi sukses individu mau pun korporasi.
Ketakjemuan dan semangat tak mau menyerahnya itu, menyebabkan dirinya kerap dijuluki sebagai Mr. Etos atau Guru Etos. Etos seolah sudah jadi dirinya dan dirinya jadi Etos. Paradigma itu kemudian ia kembangkan menjadi materi pelatihan yang membawanya berbicara di hampir semua perusahaan besar di Indonesia, antara lain lewat Institut Darma Mahardika yang ia dirikan bersama Andrias Harefa. Etos pula yang menyebabkan dirinya sering digambarkan sebagai orang yang pertama kali sebagai penggagas, pencipta, pengembang sekaligus pengemban pelatihan SDM berbasis Etos.
Hebat bukan?
Baca lah komentar Rhenald Khasali, pakar manajemen dan ketua program MM FE-UI itu, tentang Jansen. Kata Rhenald, “Ketika para ahli berbicara tentang motivasi, habit, atau hal-hal spiritual, Jansen Sinamo mengajak kita pada akar yang menggerakkan semua perilaku manusia dalam berkarya, yang disebutnya Etos.
Hmm. Asyik benar cara Rhenald menggambarkan Jansen.
Lalu baca juga kesan Peter F. Gontha, taipan yang kini lebih populer lewat acara televisi, Apprentice Indonesia itu.
“I have come to understand, possibly better than a few others, how Jansen Sinamo continuously tries to motivate and inspire others to make a better person, a better Indonesia individual. The depth of his regard for moral and his concern for the future of Indonesian is exceptional. He argues convincingly for paradigm shift in education and dialogs that would build on the vast breadth of applications for ethos….”
Gila. Peter Gontha yang ketika masih menjadi eksekutif dulu adalah seorang no nonsense decision maker, ternyata kini bisa terpana pada konsep semacam Etos yang agak abstrak itu.
Seharusnya saya berdecak kagum. Tetapi tidak. Sorry, kehebatan demi kehebatan yang telah diperoleh Jansen, justru membuat saya agak enggan mengikuti pikiran-pikirannya, meskipun di berbagai situs di internet karya-karya tulisnya kerap didiskusikan. Di benak saya, selain Jansen sudah setara dengan Dewa, pikiran-pikiran dan pelatihan berbasis Etos yang dikembangkannya itu sangat idealistik. Penuh dengan imbauan moral. Standar yang ditetapkannya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Dan dalam bayangan saya, perusahaan yang bisa mengembangkannya akan lebih tepat jadi sebuah panti asuhan ketimbang organisasi pencari profit.
Apalagi pengertian Etos ternyata seperti martabak telor yang bisa melebar dan mengembang kemana-mana. Jika Etos yang berasal dari Bahasa Yunani Kuno itu arti semulanya adalah adat istiadat atau kebiasaan, di kemudian hari berkembang penuh dengan penafsiran. Etos, oleh sebuah kamus, misalnya, diartikan sebagai guiding beliefs of a person, group or institution. Ada juga pengertian lain dari Etos, yang makin membuatnya tak bisa lagi dijelaskan dengan cara sederhana, sebab Etos ternyata adalah the charachteristic spirit of a culture, era or community as manifested in its attitude and aspirations.
Puyeng kan membaca defenisi seperti ini?
Maka ketika saya menerima telepon dari Jansen Sinamo itu, pikiran saya bimbang tak menentu. Antara senang, bangga, ‘mimpi kali ye….’ ditelepon seorang Jansen Sinamo, tetapi di sisi lain harap-harap cemas, wah, jangan-jangan ada tulisan saya, atau tulisan kawan-kawan di tempat majalah saya bekerja, yang salah dan berhubungan dengan Jansen. Lalu dia menelepon saya meminta ralat. Jangan-jangan kawan-kawan saya pernah mewawancarai dia lalu kemudian tak dimuat dan ia ingin meminta penjelasan. Telepon bernada komplain semacam ini sudah kerap mampir di meja saya pada sore-sore tanggung seperti ini. Dan jangan-jangan, telepon Jansen ini adalah salah satunya.
Tapi setelah saya ingat-ingat, rasanya tidak pernah ada wawancara dengan Jansen. Dan seingat saya, belum pernah ada tulisan tentang Jansen di majalah kami. Lalu kenapa dia menelepon? Dengan gelagapan saya menjawab teleponnya itu.
“Halo Bos. Eh, Halo Pak. Apa kabar? Ya, Eben di sini.” Saya sampai lupa harus panggil apa kepada Jansen, bermarga Sinamo yang adalah orang Batak Pakpak itu.
Tawa dari seberang yang renyah terdengar, ternyata bisa menyamankan perasaan saya. Itu suara dan tawa Jansen Sinamo. Lalu ia mengatakan dia telah mengunjungi blog ini, THE BEAUTIFUL SARIMATONDANG. Dan ia menikmatinya. (Hmm, sejenak hidung saya mengembang, ge-er dan merasa mendapat pujian dari Dewa). Salah satu cerita yang menurut dia membuat dia tak bisa menahan tawa, adalah Mati Ketawa Cara Terminal Siantar. Rupanya Jansen punya memori juga dengan beberapa nama bis yang saya ceritakan di di tulisan itu.
Jansen juga membaca tulisan saya tentang Dr. Martin Sinaga, teolog yang ternyata adalah sahabat karibnya.
Pendeknya, di telepon itu komentar-komentarnya seperti angin surga di telinga saya. Dan apa lagi yang bisa membuat penulis seperti saya senang dan merasa jadi manusia terhebat di dunia, selain pernyataan dari seseorang yang menyenangi tulisan-tulisannya? Walau pun saya sadar, pujian itu seringkali lebih indah dari aslinya, toh sebagai manusia, tak bisa menghindar dari segera mengkreditkan pujian itu dalam tabungan percaya diri saya.
Yang membuat diri ini lebih merasa tersanjung, Jansen kemudian mengajak bertemu suatu saat untuk berbagi pikiran. Kata dia, mungkin akan banyak yang bisa dia obrolkan, yang membuat hati saya lebih berbunga-bunga lagi. Merasa jadi orang hebat, sehebat Fisikawan seperti dia, walau di lubuk hati terdalam segera juga sadar, “Ben, Ben, nyebut Ben, kamu itu apa sih? Pakar bukan, selebriti bukan. Gak usah jadi kegenitan gitu.’
Dan beberapa hari kemudian, Jansen kembali menelepon untuk janji ketemu tersebut. Katanya, di coffee shop Hotel Mandarin, tanggal 8 April, jam 8:00 pagi. “Lebih pagi lebih baik, supaya kita punya waktu lebih banyak ngobrol,” kata dia. Saya senang dan segera menyetujuinya.
Kami pun akhirnya bertemu, di coffee shop Hotel Mandarin itu.
No comments:
Post a Comment