Di zaman keemasan peradaban Yunani, 400 tahun sebelum Kristus, filosof Plato menulis DIALOGUE yang, di zaman sekarang ini, dianggap merupakan filsafat yang paling berpengaruh terhadap dunia Barat. Dituliskan dalam bentuk perdebatan-perdebatan, DIALOGUE penuh dengan upaya pencarian berkesinambungan akan kebenaran dan merupakan drama tiada henti dari pertentangan intelektual.
(Great Dialogues of Plato, W.H.D. Rouse, New American Library, 1956)
Filsafat atau topik-topik berat lainnya, ternyata dapat juga nikmat diperbincangkan dan diperdebatkan sambil bersantap malam. Saya tidak membual tentang ini. Lagipula ini bukan ide baru. Dulu di Athena tatkala para sofis di zaman ‘kuda gigit besi’ masih menikmati privelese mereka untuk luntang-lantung menjajakan ide dan mendebat siapa saja yang mereka temukan, nikmatnya berfilsafat sambil bersantap malam telah mereka alami.
Paling tidak, begitu lah hikayat yang pernah dituturkan oleh buku yang pernah saya baca. Dalam Great Dialogues of Plato, misalnya, satu dari tujuh perdebatan filsafat seru antara Socrates dan kawan-kawan (dan juga lawan-lawannya), terjadi dalam sebuah jamuan makan malam. Waktunya kira-kira di tahun 416 sebelum masehi. Tuan rumahnya, Agathon, penyair yang baru sukses dengan pertunjukannya di Teater Dionysis di kaki gunung Acropolis, Athena. Topik yang mereka perbincangkan (atas saran Socrates) agak-agak genit bila hanya menilik judulnya tapi jauh dari kesan tak senonoh bila kita menukik pada bahasa dan daya nalar yang mereka pakai; malam itu topik diskusi adalah Cinta (asyik kan?). Pemrasaran untuk didebat, bernama Phaidros, karib Plato yang secara khusus diundang untuk bicara malam itu. Ia dilaporkan antara lain memberi pernyataan (saya sendiri agak kurang paham apa maksudnya) begini:
Love was a great god and wonderful earth and in heaven, especially in his birth. The god is honourable as being among the most ancient of all, and a proof is, that parents Love has none, nor are they mentioned by anynone, poet or not, although Hesiod does say that Chaos came first and then broad-breast Earth, the everlasting seat Of all, and Love.
Setelah itu berlangsunglah bicara ngalor-ngidul dan panjang lebar diantara hadirin menanggapi topik yang baru disampaikan, sambil mereka minum dan makan.
Terus terang, saya belum pernah tamat membaca buku Great Dialogues setebal 525 halaman itu. Namun, tak bisa juga saya menghindar untuk tak mencoba membayang-bayangkan suasana diskusi para sofis di Athena di beribu abad lalu itu, tatkala Minggu, 25 Januari kemarin, Jansen Sinamo mengundang kami kawan-kawannya menikmati dinner di restoran Cosi, di FX building, Jakarta. Tak ada topik tertentu yang jadi perbincangan sambil kami memesan makanan (yang ternyata, sebagian besar kami memilih Chinese food). Tetapi seperti loncatan-loncatan kembang api di malam tahun baru imlek, ide-ide segar mau pun lapuk, isu-isu hangat mau pun basi, tentang tokoh-tokoh tenar mau pun tak dikenal, bersiliweran pada malam liburan yang terasa asyik-- soalnya kami dapat memandangi suasana malam di segitiga emas Jakarta dari teras restoran yang berada di ruangan terbuka di ketinggian beberapa puluh meter.
Sejak mengenal dan akrab dengan Guru Etos Jansen Sinamo, saya jadi tahu salah satu kebiasaannya. Yakni, ia senang menjamu kawan-kawannya untuk berbincang-bincang tentang apa saja. Apakah untuk mendiskusikan suatu gagasan yang tak pernah bisa lekang dari kepalanya, merencanakan proyek ‘intelektual’ yang rada-rada gawat mau pun remeh-temeh, ingin ‘mengisi ulang’ pengetahuannya tentang isu-isu di seputar budaya Batak yang merupakan salah satu favoritnya, atau kala ingin menuntaskan rencana-rencana lain yang sifatnya lebih konkrit. Jansen Sinamo tampaknya senang melakukannya melalui jamuan makan, entah itu berupa ngopi di kafe Oh La La di kawasan Imam Bonjol, breakfast yang nikmat di kafe di Hotel Mandarin, brunch di Hotel Sultan (dahulu, Hilton) atau pun menikmati makanan khas Batak di restoran Tabo Toba di kawasan Manggarai.
Malam 25 Januari lalu itu, Jansen Sinamo mengundang kolega-koleganya para awak dan fans TATAP. Yang disebut belakangan ini adalah sebuah majalah budaya dengan tag line: Bacaan kaum terdidik Batak. Majalah dengan gaya bertutur ala New Yorker ini, memang dipimpin oleh Jansen Sinamo sejak dua tahun lalu. Redakturnya terdiri dari para cendekiawan dan wartawan senior. Sudut pandang mereka dalam memahami dan meneropong permasalahan kultur Batak selalu dalam cara yang beyond dari apa yang terlihat hari ini, meskipun berbagai fenomena yang mereka telisik selalu disandarkan pada fakta-fakta historis. Tak mengherankan bila istri saya yang orang Jawa itu, termasuk fans berat dari majalah ini, yang menyebabkan saya sering kena damprat bila tidak mendapat kiriman majalah TATAP. Dengar-dengar, Menristek Kusmayanto Kadiman, juga pembaca yang setia majalah ini. Untuk sementara ini TATAP memang istirahat terbit sehubungan dengan sakitnya sang Guru Etos. Namun Jansen sendiri tampaknya tak mau membiarkan nyawa TATAP lenyap. Ia menghidupkannya terus dengan memelihara komunitas awak TATAP yang perangai dan pikiran-pikiran mereka –menurut dugaan saya yang subjektif-- mirip-mirip lah dengan para sofis di kota Athena. Selain dengan kongkow-kongkow begini, komunikasi para TATAPwan juga sudah dibina lewat mailing list dan rencana pembuatan TATAP online.
Malam itu, ‘judul’ dari santap malam kami adalah Geneva Night. Bukan sekadar gagah-gagahan, tapi memang ada maksudnya. Sebab dalam waktu tak lama lagi, kota Jenewa akan menjadi tempat bermukim salah satu rekan kami. Rekan itu adalah Pendeta Dr. Martin Sinaga STh, dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, salah seorang anggota Dewan Redaksi majalah TATAP sekaligus juga sahabat karib Jansen Sinamo. Martin mendapat penugasan baru di LWF (Lutheran World Federation, federasi beranggotakan 140 gereja lutheran di 79 negara di seluruh dunia) di Jenewa selama dua tahun.
Walau pun dunia di zaman sekarang ini konon sudah flat sehingga kata berpisah tidak relevan lagi dari sudut pandang telekomunikasi, toh kami merasa perlu melakukan ‘pemberangkatan’ kepada Om Pendeta. Samasekali bukan untuk memutuskan hubungan, justru untuk menekankan kepadanya agar tetap menulis dan berkirim-kirim email dari kota nun jauh itu walau mungkin ia akan disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan barunya.
Demikianlah. Malam itu merupakan perjamuan perpisahan, tapi tidak ada nuansa melankolis apalagi sampai nangis-nangis segala. Saat demi saat berlangsung dalam iklim yang tak beda jauh dari riuh-rendahnya para raja-raja parhata (pengetua adat) Batak ketika memperbicangkan besarnya sinamot (uang mahar) di musyawarah-musyawarah kaumnya. Dan, diam-diam saya jadi terpikir-pikir, kalau dalam DIALOGUES-nya Plato begitu rapi ketika menuturkan perdebatan-perdebatan Socrates dan rekan-rekannya sehingga tak ubahnya seperti Q & A pada buku-buku panduan pengunaan barang elektronik, dugaan saya ‘transkrip’-nya itu pasti lah hasil dari ‘menjahit’ dan menyunting ribuan bahkan ratusan ribu kalimat-kalimat ngalor-ngidul dalam pertemuan bernada riuh-rendah seperti dinner kami, malam itu.
Redaktur TATAP yang hadir malam itu selain Jansen dan Martin Sinaga adalah Nabisuk Naipospos, wartawan senior yang bekerja pada koran terkemuka di Jakarta. Lalu Has Sirait, mantan wartawan pada sebuah koran bisnis kondang dan kini mencemplungkan diri pada aktivitas LSM. Hadir pula Eka Ginting, bisnismen yang menaruh perhatian besar pada masalah-masalah budaya dan politik. Juga tak ketinggalan Hans Banureah wartawan infotainment yang kocak, facebooker dengan banyak penggemar, punya banyak file MP3 lagu-lagu Batak dan lagu-lagu bikinannya sendiri. Edward Tigor Siahaan, fotografer kenamaan berhalangan hadir karena tidak bisa meninggalkan acara arisan di rumahnya. Juga Benget Simbolon, bekas wartawan Jakarta Post, tak bisa datang karena ada acara keluarga. Saya sendiri sebagai fans dan penggembira, duduk manis sepanjang perbincangan, dan dengan senang hati berpura-pura menghibur diri sendiri sebagai Plato ‘amatiran’ mengabadikan lalu-lintas percakapan itu di dalam otak sambil tak henti-hentinya mengenyangkan perut dengan makanan serba nikmat.
Kombur-kombur (obrolan santai) kami dimulai dengan cerita tentang kota Jenewa. Jansen Sinamo ternyata sudah lebih awal mengerjakan ‘pekerjaan rumah’nya sehingga dengan lancar ia menjelaskan bahwa Jenewa itu adalah kota terbaik nomor dua di dunia, setelah Zurich. Ia juga panjang lebar menjelaskan apa saja kriteria yang dipakai lembaga internasional dalam menentukan kota terbaik. Namun ‘pujian’ itu segera ditimpali oleh Eka Ginting dengan mengatakan betapa sepi dan dinginnya kota itu, terutama bagi orang-orang yang terbiasa di kota hiruk-pikuk seperti Jakarta. Sambil senyum-senyum, Martin pun menukas, bahwa kota yang demikian itu itu akan baik bagi seorang pendeta seperti dirinya. Dengan begitu, ia lebih fokus pada hobinya sebagai penulis dan pemikir, apalagi di Jenewa ‘kesejahteraannya’ akan dijamin lebih tinggi, sementara pekerjaannya ‘cuma satu.’ Berbeda dengan pendeta di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. ‘Gajinya sedikit’ tapi ‘pekerjaannya banyak.’ Diskusi ini melahirkan tawa riuh diantara kami, karena jokes tentang berbagai profesi yang kami geluti memang bukan hal tabu bagi kami walau pun sering juga membuat kuping memerah. Selanjutnya mengalir lah adu argumentasi bernada sosiologis dan filosofis, tentang betapa kritisnya orang Batak terhadap kaum rohaniawannya. Padahal kalau daya kritis seperti itu dilontarkan di kalangan suku lain, sangat mungkin akan dianggap tak tahu sopan-santun bahkan dituduh SARA.
Kami juga sempat tenggelam dalam perbicangan yang mirip-mirip dengan kuis Berpacu dalam Melodi, tatkala kami mencoba menebak-nebak apa padanan kata Sintas dalam Bahasa Batak. Sintas –bagi yang belum familiar—adalah kata Indonesia untuk menggambarkan pengertian dari survival of the fittest dalam konteks teori evolusi Darwin yang terkenal itu. Pembicaraan ini bermula dari lontaran seorang kawan yang menyitir tulisan Jaya Suprana yang menyinggung makin salah kaprahnya orang memahami pengertian Sintas atau survive tadi. Lucunya, sampai belasan menit kami lalui, tak juga kami temukan kesepakatan apa padanan Sintas dalam bahasa Batak, entah itu Toba, Simalungun, Karo, Pakpak mau pun Mandailing. Saya termasuk yang setuju untuk mengutarakan kata ‘jugul mangolu,’ yang merupakan perpaduan dari kata jugul (‘bandel’) dan mangolu (hidup). Tapi jugul dalam Bahasa Batak Toba agak berkonotasi negatif. Jika bandel dalam Bahasa Indonesia sudah sering berkonotasi positif (misalnya, dalam kalimat, Becak Siantar biasanya mesinnya bandel) kata jugul agaknya belum menikmati ‘naik kelas’ seperti kata bandel dalam Bahasa Indonesia. Tak mengherankan bila ada yang mengusulkan agar diambil jalan termudah. Sintas dalam Bahasa Batak Toba kembali saja ke kata asalnya yang dimodifikasi ala pengucapan Bahasa Batak, yakni: Surpaip. Ah, sejak kapan pula orang Batak tak bisa melafalkan huruf F seperti orang Sunda? Diskusi tentang kata Sintas malam itu tak berhasil sintas!
Perbincangan lain yang menarik adalah ketika Eka Ginting bercerita dulu ketika kuliah di AS, ada mahasiswa yang meminta profesornya membuat daftar 50 buku yang harus tuntas dibaca untuk memahami ilmu tertentu secara sempurna. Konon, sang profesor menghabiskan satu semester untuk membuat daftar tersebut. Malam itu, kami mencoba memecakan rekor sang profesor. Yakni secara random dan asal njeplak, membuat daftar 50 buku yang harus dibaca untuk bisa memahami Indonesia secara utuh. Dan kami sangat nekad dan ambisius, sebab kami ingin menuntaskannya dalam dinner malam itu juga, hahahahha.
Aneka judul buku dan nama pengarang terlontar. Yang paling banyak disebut adalah nama Pramudya Ananta Toer. Hanya saja tak ada yang sepakat buku Pram yang mana yang harus dimasukkan dalam list. Apakah Bumi Manusia atau Cerita dari Blora atau yang lainnya. Lalu tatkala saya melontarkan nama Romo Mangunwijaya dengan buku roman karyanya, Burung-burung Manyar, ada yang rada tak setuju karena menurutnya gaya menulis sang romo agak nyinyir dan ngelantur kemana-mana. Mungkin benar juga, sebab kalimat sang Romo memang sering sangat panjang. Saya jadi ingat pada nasihat para wartawan senior di awal-awal jadi wartawan tempo hari. Kata dia kalimat yang kuat itu adalah kalimat yang pendek-pendek. Untuk membuka sebuah karangan, kalimat yang paling mantap tak boleh lebih dari delapan kata. Dan, itu belum seberapa. Konon, menurut khotbah seorang pendeta yang pernah saya dengar, kalimat paling pendek sepanjang kitab Injil hanya terdiri dari tiga kata. Bisa ditemukan pada kisah ketika Yesus melawat dan kemudian menghidupkan Lazarus. Kalimat itu berbunyi begini:….Maka menangislah Yesus (Yoh 11:35).
Namun menurut saya, hal itu belum merupakan pembuktian yang sahih untuk mengatakan bahwa kalimat-kalimat pendek saja yang kuat. Bila seorang penulis berpanjang-panjang dan ngelantur kemana-mana, tak otomatis ia harus dihakimi sebagai bertele-tele apalagi nyinyir. Eka Ginting berkata bahwa justru yang demikian itu lah gaya para penulis Perancis. Dan kita tahu, banyak penulis termasyhur beserta novel-noverl mereka lahir dari negeri itu. Lagipula seringkali harus dipahami terlebih dahulu konteks mengapa para penulis harus menuangkan karyanya dengan cara begitu. Apakah ada kritik tersembunyi di balik lekak-lekuk logika yang dipakainya atau ada ‘sandi’ tertentu untuk membuat ide-ide yang dilontarkannya tertancap dalam secara lamat-lamat ke benak pembacanya.
Pada kenyataannya ambisi kami untuk membuat ‘daftar 50 buku yang harus dibaca’ itu tak kesampaian. Lebih tepatnya, kami kelelahan sekaligus kebingungan memilih-milah, karena akhirnya kami sadari terlalu banyak buku bagus dan penulis bagus untuk bisa kita baca dalam rangka memahami Indonesia. Juga banyak buku yang melambung tinggi oleh proses yang bersifat emergence. Terlontar dan melesat secara tak terduga oleh proses saling kait-mengaitnya berbagai komponen yang tanpa preseden. Habis Gelap Terbit lah Terang-nya Kartini, atau Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, mungkin adalah dua contoh diantaranya.
Perbincangan yang paling menarik dan mengundang tawa pasti lah manakala kami mencoba menertawakan diri sendiri lengkap dengan keudikan dan keterbelakangannya. Misalnya, tentang sebuah desa di Sidikalang bernama Sukarame, tempat Jansen Sinamo dan Hans Banureah menghabiskan masa kanak-kanak. Dari dahulu kala, menurut kedua pria asal Sukarame ini, desa itu selalu berkonotasi kampungan, kuper, tertinggal dan aneka sebutan lain untuk menggambarkan keterbelakangan. Itu sebabnya ketika Hans Banureah yang juga seniman dan pengamat musik itu suatu hari tampil di televisi, kontan saja Jansen Sinamo berkomentar kepada Hans secara berkelakar, bahwa baru Hans lah dari desa Sukarame yang pernah masuk televisi. Saya tak habis-habisnya tertawa melihat bagaimana antusiasnya Jansen dan Hans menetawakan diri mereka sendiri serta desa asal mereka itu. Jadi ingat lingkungan tempat saya tinggal di Sarimatondang. Nama aslinya dulu di zaman Belanda sebetulnya keren: Land Bouw yang berarti tanah yang subur. Namun, karena lidah Batak tak bisa mengucapkannya dengan pas, plus mungkin ada yang sirik atau sinis, plus karena dulu memang belum ada WC, jadi kerbau dan manusia sering sembarangan buang hajat di ladang dan di got, maka orang memelesetkan Land Bouw menjadi Lambau. Dalam Bahasa Batak, artinya, makin bau. Pasti lah Prof.Dr. Bungaran Saragih, yang mantan menteri pertanian itu, tidak akan lupa pada sebutan lucu bagi desa tempat orang tuanya bermukim ini.
Sambil berbincang-bincang begitu, Hans yang membawa laptopnya asyik membuka-buka facebook, dan memasukkan foto-foto yang dipotretnya memakai ponselnya. Beberapa foto itu ia rekayasa jadi aneh-aneh, seperti yang mungkin bisa dilihat di tulisan ini.
Tidak terasa malam telah mendekati pukul 23:00 ketika Geneva Night itu hampir berakhir. Jansen Sinamo, sang sahibul hajat yang lebih banyak diam dan bertindak seolah-olah seperti kepala sekolah yang bangga menyaksikan kolega-koleganya yang cerdas dan tangkas, hanya mengucapkan beberapa kalimat untuk mengakhiri jamuan itu, sebagai ucapan selamat jalan kepada Om Pendeta Martin.
Bagi saya, ini lagi-lagi sebuah malam yang priceless, bisa berkumpul dengan para sofis dari abad mutakhir. Mereka ini, menurut saya, adalah orang-orang yang sudah pada taraf percaya bahwa hidup bukan hanya dari ‘roti’ saja, meskipun malam itu tetap saja saya melihat kami agak bersemangat menjurus ingin mencoba sesuatu yang lain dari yang lain ketika memelototi daftar menu yang nama-namanya rada aneh di lidah dan telinga. Satu hal yang agak ‘disesalkan’ adalah kami terpaksa mau berkompromi meminum bir Heinekken, padahalbeberapa diantara kami sebenarnya lebih ngefans pada bir lokal bikinan negeri sendiri, yang sayangnya tidak disediakan (atau kehabisan?) di restoran berinterior futuristik itu.
Laporan selesai. Sekarang, let’s back to the real world, hahahahaha.
-selesai-
1 comment:
Kalau mau cari majalah TATAP dimana amangboru?
Maringan Munthe
Post a Comment