Tuesday, January 13, 2009

Membangun Indonesia dengan Etos Kerja Profesional

Oleh Jansen H. Sinamo










Jika Anda manajer, eksekutif, atau pemimpin organisasi, apakah Anda ingin memiliki SDM yang dicirikan oleh perilaku kerja berikut ini:


  1. Mampu bekerja tulus penuh rasa syukur dan keikhlasan.
  2. Sanggup bekerja tuntas penuh integritas dan kejujuran.
  3. Mau bekerja benar penuh tanggung jawab dan akuntabilitas.
  4. Bisa bekerja keras penuh semangat dan antusiasme.
  5. Dapat bekerja serius penuh kecintaan dan pengabdian.
  6. Senang bekerja kreatif penuh sukacita dan inovasi.
  7. Selalu bekerja unggul penuh ketekunan dan kualitas.
  8. Senatiasa bekerja paripurna penuh kesungguhan dan kerendahan hati

Apa jawaban anda?

Sebelum menjawab, izinkanlah saya menebak. Dugaan saya Anda kira-kira berkata begini, “Bung Sinamo gila juga nih, ideal banget, mana mungkin di dunia nyata, apalagi di Indonesia.”

Jika tebakan saya benar, saya tidak menyalahkan Anda sedikit pun. Malahan, itu bukti bahwa Anda normal. Maksud saya, realita dunia kerja sebagaimana adanya Anda pahami dengan baik. Perilaku kerja di atas memang ideal, bahkan terkesan utopis.

Tetapi, tunggu dulu. Bila dipikir-pikir lebih jauh, saya kira Anda pun setuju bahwa semua perilaku kerja di atas sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi—swasta maupun Pemerintah, prolaba maupun nirlaba—agar bisa eksis, berkiprah, dan berjaya di dunia baru yang terglobalisasikan di abad ke-21 ini, zaman yang kita sebut juga sebagai era digital global.

Memang, boleh saja SDM kita membokongi semua kualitas di atas, tetapi organisasi dengan SDM bermutu rendah akan tergilas habis oleh hiperkompetisi, kemudian terpinggirkan, kemudian terbuang keluar dari gelanggang. Itu pertama.

Kedua, semua guru penganjur sukses di dunia ini di intinya mengajarkan bahwa keberhasilan adalah buah perilaku kerja yang positif. Di sini, saya tampilkan pendapat tiga guru saja.

Pertama, Napoleon Hill, dalam buku legendaris Think and Grow Rich (1960), menyimpulkan bahwa jika seseorang ingin meraih sukses gemilang maka ia harus memiliki kualitas berikut:

1. Keinginan besar untuk berhasil

2. Keyakinan kuat bahwa sukses adalah haknya

3. Keyakinan pada kekuatan doa

4. Daya imajinasi yang kuat

5. Daya pikir yang tajam

6. Intuisi yang tajam

7. Sikap mental positif yang ditopang otosugesti yang efektif

8. Pengetahuan khusus yang dalam

9. Perencanaan yang teliti dan matang

10. Kemampuan membuat keputusan yang jitu

11. Ketabahan menghadapi berbagai kegagalan

12. Kemampuan mengerahkan emosi positif

13. Kemampuan mengubah energi seksual menjadi energi kerja

14. Kemampuan mengelola enam rasa takut utama: takut miskin, takut sakit, takut dibenci, takut dikritik, takut tua, dan takut mati.

Kedua, Stephen R. Covey dalam buku tenar The Seven Habits of Highly Effective People (1989) menemukan adanya tujuh kebiasaan manusia efektif, yaitu:

1. Senantiasa proaktif

2. Memulai sesuatu dari akhirnya

3. Mengutamakan hal-hal yang utama

4. Berpikir win-win

5. Berusaha memahami dahulu agar dipahami

6. Bekerja dengan sinergi

7. Senantiasa memperbarui dan mempertajam diri sendiri

Ketiga, John Wareham dalam buku hebat The Anatomy of Great Executives (1991) mengatakan bahwa seorang eksekutif akan bisa sukses jika ia memiliki:

1. Kemampuan menampilkan persona diri yang tepat

2. Kemampuan mengelola energi diri yang baik

3. Sistem nilai pribadi dan kontak-kontak batiniah yang jelas

4. Sasaran hidup yang tersurat maupun tersirat secara jelas

5. Kecerdasan

6. Kebiasaaan kerja yang baik

7. Keterampilan antarmanusia yang baik

8. Kemampuan adaptasi dan kedewasaan emosional

9. Pola kepribadian yang tepat dengan tuntutan pekerjaan

10. Kesesuaian antara tahap dan arah kehidupan dengan harapan gaya hidup

Kesimpulannya jelas: untuk meraih sukses harus ada sikap mental, state 0f the mind, yang mewujud sebagai perilaku kerja yang ideal.

Ini di tingkat personal.

***

Di tingkat organisasional, agar berhasil, diperlukan seperangkat perilaku organisasi yang ideal pula. Saya tampilkan kesimpulan tiga Guru lainnya.

Pertama, Tom Peters dalam bukunya Thriving On Chaos (1987) mengemukakan, agar bisa sukses, sebuah organisasi harus mampu:

1. Responsif terhadap kebutuhan pelanggan

2. Berinovasi dengan cepat

3. Memberdayakan seluruh jajaran SDM

4. Menampilkan kepemimpinan di setiap eselon organisasi

5. Membangun sistem yang lebih otonom dan terdesentralisasikan


Kedua, Collins & Porras dalam buku best-seller Built to Last (1997) mengatakan bahwa sebuah organisasi akan mampu mencapai sukses signifikan jika ia memiliki:

1. Arsitektur organisasi yang dinamis

2. Mampu mengelola kenyataan yang paradoks

3. Ideologi bisnis yang kuat

4. Sasaran-sasaran dan target-target yang agung

5. Keteguhan tetapi sekaligus fleksibilitas

6. Budaya kerja yang dihayati secara fanatik

7. Daya inovasi yang kreatif

8. Sistem pembangunan SDM dari dalam

9. Orientasi mutu pada kesempurnaan

10. Kemampuan untuk terus-menerus belajar dan berubah secara damai

Ketiga, Jeremy & Tony Hope dalam bukunya Competing in the Third Wave (1997) mengemukakan, agar organisasi mempunyai daya saing tinggi sehingga bisa tampil sebagai pemenang, ia harus sanggup menjalankan sepuluh hal berikut ini:

1. Membangun dan menjalankan strategi bisnis yang jitu

2. Menampilkan sajian nilai pelanggan yang bermutu tinggi

3. Berkompetisi dengan basis informasi dan pengetahuan

4. Sistem manajemen yang berbasis pada jaringan dan proses

5. Menemukan fokus pasar yang paling menguntungkan

6. Mengelola organisasi dan bukan mengelola angka-angka

7. Menyeimbangkan kontrol dan pemberdayaan

8. Mengelola aset intelektual

9. Meningkatkan produktivitas berdasarkan nilai tambah

10. Menjalankan proses adaptasi dan transformasi

Mempelajari konsep Guru-Guru sukses di atas—yang mereka peroleh melalui studi dan riset mendalam—bisa disimpulkan bahwa perilaku kerja yang ideal, bagaimanapun komposisinya, merupakan sebuah keniscayaan bagi orang atau pun organisasi yang ingin menang, sukses, dan berjaya di abad ke-21.

Sekarang, kembali ke pertanyaan saya di awal karangan ini. Bila Anda seorang manajer, eksekutif, atau pemimpin, apakah Anda ingin mempunyai SDM yang dicirikan oleh delapan set perilaku kerja positif tadi? Saya duga, jawaban Anda sudah lebih positif.

Persoalannya tentu, bagaimana cara memiliki SDM dengan perilaku kerja seindah itu?

Dikatakan pendek: bangunlah etos kerja profesional dalam SDM Anda pada semua eselon organisasi, tanpa kecuali!

Dalam kalimat terakhir ini, saya langsung memakai istilah etos kerja.

Apa yang dimaksud dengan etos kerja? Khususnya, apa itu etos kerja profesional?

Saya mendefinisikannya sebagai berikut: etos kerja profesional adalah perilaku-perilaku kerja positif yang lahir dari keyakinan dan komitmen yang total pada paradigma kerja tertentu. Dengan kata lain, etos kerja profesional adalah manifestasi dari keyakinan yang mendalam serta komitmen yang kuat pada nilai-nilai kerja tertentu yang tampil keluar sebagai perilaku kerja yang positif.

Dalam buku saya Delapan Etos Kerja Profesional [2005] saya mengungkapkan delapan etos kerja profesional sebagai berikut:

1. Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku bekerja tulus penuh rasa syukur.

2. Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku bekerja tuntas penuh integritas

3. Etos 3: Kerja adalah Panggilan; Aku bekerja benar penuh tanggung jawab.

4. Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku bekerja keras penuh semangat.

5. Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku bekerja serius penuh kecintaan.

6. Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku bekerja kreatif penuh inovasi.

7. Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku bekerja unggul penuh ketekunan.

8. Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku bekerja paripurna penuh kerendahan hati.

Dalam ungkapan-ungkapan di atas, setiap paradigma kerja [misalnya, kerja adalah rahmat]–bila diyakini sepenuh hati dihayati sepenuh jiwa– pastilah akan menghasilkan perilaku kerja yang positif dan khas [dalam contoh ini, aku bekerja tulus penuh rasa syukur]. Demikianlah kedelapan paradigma kerja di atas akan menghasilkan delapan set perilaku kerja profesional yang saling koresponden.

SUKSES PERSONAL, SUKSES ORGANISASIONAL, SUKSES SOSIAL

Studi serius bertahun-tahun tentang kunci-kunci sukses akhirnya membawa saya pada kesimpulan tegas: etos kerja adalah akar dari semua keberhasilan, baik di tingkat personal, organisasional, maupun sosial.

Untuk memahaminya, saya mengajak Anda meninjau konsep keberhasilan pada tiga tingkatan itu. Di atas, secara ringkas, saya sudah perkenalkan dua kelompok tokoh penggagas kunci-kunci sukses. Kelompok pertama, Napoleon Hill, Stephen R. Covey, dan John Wareham. Kelompok kedua, Tom Peters, Collins & Porras, serta Jeremy & Tony Hope. Sebenarnya, ribuan orang sudah menulis puluhan ribu buku tentang kiat, prinsip, hukum, kaidah, asas, atau kunci keberhasilan. Saya memilih enam orang saja untuk mewakili dua kelompok tersebut.

Apa beda keduanya?

Bedanya, kelompok pertama memfokuskan studi mereka pada ranah personal, artinya kunci-kunci sukses yang mereka gagas ditujukan untuk membangun sukses individual. Sedangkan kelompok kedua memfokuskan studi mereka pada ranah organisasional, artinya kunci-kunci sukses yang mereka gagas ditujukan untuk membangun sukses organo-manajerial, terutama perusahaan.

Tetapi, di tingkat yang lebih luas, kita juga membutuhkan kunci-kunci sukses pada ranah sosial, yaitu gagasan konseptual untuk memajukan suatu masyarakat, suku bangsa, dan bahkan negara. Ketiganya penting difahami secara tuntas dan mendalam serta kemudian diintegrasikan secara harmonis, karena sebenarnya manusia hidup pada ketiga tingkat itu secara serentak sekaligus: personal, organisasional, dan sosial.

Etos kerja—akan saya tunjukkan nanti—merupakan kunci sukses yang sangat unik, karena ia sekaligus sanggup menjadi fundamen keberhasilan pada ketiga ranah itu.

Tetapi meskipun sangat unik, dan karena itu istimewa, perlu segera saya tegaskan bahwa etos kerja bukan satu-satunya kunci sukses. Yang benar, etos kerja adalah fondasinya. Etos kerja adalah fundamen keberhasilan. Etos kerja adalah akar kesuksesan. Dengan kata lain, etos kerja merupakan sebuah syarat perlu [necessary condition] tetapi belum merupakan syarat cukup [sufficient condition].

Etos kerja sebagai kunci sukses, sejauh ini merupakan bahan kajian sosiologi, dan karenanya terkesan hanya relevan untuk keberhasilan sosial saja. Tetapi saya berpendapat, hal ini tidak benar. Salah satu tujuan saya menulis buku di atas ialah untuk membawa konsep etos kerja turun dari wilayah sosial menukik ke ruang organo-manajerial serta ke ranah individual. Dengan demikian, etos kerja akan bisa tampil secara lebih luas, tidak saja di kampus-kampus, tetapi juga di ruang-ruang rapat eksekutif dan ruang-ruang perenungan pribadi orang-orang yang ingin naik ke orbit sukses yang lebih tinggi.

TEORI SCHUMACHER TENTANG SUKSES NEGARA

Seorang tokoh penting penggagas sukses di tingkat sosial adalah E. F. Schumacher [1911-1977] yang terkenal, antara lain, karena judul bukunya yang puitis: Small Is Beautiful (1973). Lebif spesifik, Schumacher dikenal sebagai penganjur strategi pembangunan ekonomi secara gradual, dari kecil menuju besar, perlahan seiring dengan kemajuan pengetahuan dan disiplin masyarakat, termasuk institusi ekonomi pendukungnya. Intisari pikiran Schumacher dapat kita simak dari kutipan berikut ini:

Saya yakin bahwa dari berbagai sebab kemiskinan, faktor-faktor material—seperti kekurangan sumber daya alam, modal, dan prasarana—hanya merupakan sebab sekunder saja. Sebab primernya adalah kekurangan di bidang pendidikan, organisasi dan disiplin.

Pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan manusia: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya. Tanpa ketiga komponen ini, semua sumberdaya tetap terpendam, tak dapat dimanfaatkan, dan tetap merupakan potensi belaka.

Adanya negara-negara yang makmur walaupun kekayaan alamnya sangat sedikit, membuktikan betapa pentingnya ketiga komponen yang tidak kelihatan tersebut. Hal ini lebih nyata kelihatan sesudah Perang Dunia II. Betapapun hebatnya kehancuran yang dialami akibat perang tersebut, namun negara-negara dengan tingkat pendidikan, organisasi, dan disiplin yang tinggi (terutama Jerman dan Jepang) kemudian mampu menciptakan keajaiban ekonomi.

Tetapi sebenarnya hal ini hanya ajaib bagi orang yang hanya melihat puncak gunung esnya saja. Puncaknya barangkali hancur, tetapi badan gunung itu—pendidikan, organisasi, dan disiplinnyatetap masih utuh.

Schumacher menolak tegas strategi pembangunan lompat katak. Menurutnya, modal utama pembangunan adalah SDM, bukan sumber daya material atau uang. Dua yang terakhir ini bersifat sekunder. Tetapi SDM itu primer. Dan membangun SDM tidak mungkin secara lompat katak. Hanya bisa gradual tetapi kontinual saja.

Tapi pemikiran Schumacher diabaikan orang di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Pada zaman Orde Baru, Indonesia lebih suka menggunakan teori lepas landas dengan mengadakan lompatan-lompatan pembangunan secara spektakuler. Tetapi terbukti kemudian, tanpa dukungan etos kerja SDM bermutu tinggi serta kualitas profesionalisme organisasi di segala lini, Indonesia akhirnya terjungkal ke ngarai utang disertai berbagai krisis dan tragedi.

Sekali lagi, SDM adalah kunci utama!

Satu inti kualitas SDM yang disebut Schumacher ialah disiplin. Dan, jika disiplin dalam badan gunung es Schumacher saya rampatkan menjadi etos kerja, maka tiga komponen sukses yang tidak kelihatan itu akan tampak seperti tubuh gunung es yang sembilan-per-sepuluh bagian tersembunyi di dalam samudera.

1. Pendidikan: Dalam komponen ini termasuk segala jenis pengetahuan, ilmu, teori, prinsip, kaidah, pedoman, konsep, ide, gagasan, paradigma, beserta kiat-kiat teknisnya; baik yang diperoleh lewat pembelajaran formal maupun informal.

2. Keterampilan Organisasional: Dalam komponen ini termasuk semua bentuk kemampuan mengelola organisasi seperti keterampilan perencanaan, eksekusi, pengendalian, pengoordinasian, pemecahan masalah, dan evaluasi untuk perbaikan. Juga, termasuk seluruh talenta kepemimpinan seperti visi, teknik pemberdayaan, komunikasi, inspirasi, dan motivasi. Pokoknya semua keterampilan organisasional yang umumnya berbasis pada kelompok ilmu manajemen dan organisasi.

3. Etos Kerja: Dalam komponen ini termasuk semua jenis perilaku kerja seperti disiplin, efisiensi diri, komitmen, keuletan, hemat, giat, tabah, ramah, kreatif, positif, inovatif, imajinatif, efektif, proaktif, kerja keras, antusias, integritas, dan sebagainya.

Ketiga komponen utama di atas memang tidak kelihatan. Semuanya berada dalam diri manusia yang tersimpan dalam berbagai bentuk kompetensi, keahlian, dan kemampuan insani operasional. Dan apabila ketiganya digunakan di dalam dan melalui kerja, ia akan keluar berbentuk kinerja, prestasi, dan produksi.

Inilah sesungguhnya yang disebut SDM, tepatnya sumber daya yang tersimpan dalam diri manusia, yang dapat digunakan menghasilkan apa saja yang dihendaki manusia.

Hasil khusus dari pemanfaatan ketiga jenis sumber daya manusia di atas adalah barang-barang material dalam berbagai bentuk dan fungsi, seperti kursi, meja, gedung, pabrik, irigasi, jalan raya, lapangan terbang, mesin-mesin, alat-alat transportasi, sistem telekomunikasi, jejaring komputer, dan lain-lain.

Pada tingkat selanjutnya, dengan menggunakan SDM ini, kita akan mampu mengolah benda-benda material yang telah ada—dalam bentuk kekayaan alam asli maupun hasil-hasil olahan kerja tingkat pertama—menjadi barang-barang material lain yang memiliki nilai tambah lebih tinggi melalui serangkaian proses aksi dan produksi. Oleh karenanya, sekali lagi, barang-barang material memang berfungsi sebagai komponen sukses sekunder.

Semua barang material ini bersifat kasat mata, riil, terukur, serta bisa dipindah-pindahkan, dipertukarkan, atau diperjualbelikan dengan perantaraan alat tukar yang kita sebut uang. Di sini, selain berfungsi sebagai modal sekunder, uang juga kemudian berfungsi sebagai bentuk transformasi dan akumulasi dari barang-barang material, sekaligus menjadi ukuran kinerja atas kemampuan memanfaatkan SDM bersama sumber-sumber daya lainnya.

Dengan demikian, teori Schumacher di atas sekarang dapat saya modifikasi sebagai berikut. Pertama, istilah disiplin saya rampatkan menjadi etos kerja seperti telah dijelaskan sebelumnya. Perampatan ini dapat diterima karena disiplin hanyalah salah satu dari sejumlah perilaku positif yang menunjang sukses seperti hemat, efisien, rajin dan sebagainya. Kelompok perilaku ini memang lazim disebut etos kerja.

Kedua, saya telah mempertajam istilah organisasi menjadi keterampilan organisasional. Penajaman ini pun dapat diterima karena memang itulah yang tersirat dalam kalimat Schumacher, “Pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dengan manusia: pendidikannya, organisasinya, dan disiplinnya.” Jelas, organisasi tidak mungkin berada dalam diri manusia, tetapi sebaliknyalah. Sudah pasti, yang dimaksudnya dengan organisasi adalah keterampilan organisasional.

Ketiga, saya telah mengubah urutan komponen sukses Schumacher menjadi: disiplin, pengetahuan, dan organisasi; atau dalam rumusan baru saya menjadi: etos kerja, pengetahuan, dan keterampilan organisasional. Urutan ini penting karena menjelaskan elemen mana yang lebih fundamental dibandingkan dengan elemen lainnya.

Menurut saya, etos kerja adalah elemen paling primer. Menggunakan ilustrasi baru, ibarat sebatang pohon, maka etos kerja adalah akarnya, pengetahuan adalah batangnya, berbagai keterampilan organisasional adalah cabang dan rantingnya, sedangkan uang dan berbagai barang material adalah sebagian buah-buahnya.

Jadi, dengan etos kerja yang kuat (akar yang baik) orang bisa membangun dan meningkatkan pengetahuannya (batang). Berbasis pada pengetahuan yang ditopang oleh etos kerja yang baik tersebut, selanjutnya keterampilan organisasional pun bisa dibangun pula (cabang dan ranting). Dan dari ketiga komponen inilah kemudian dihasilkan kinerja yang membuahkan berbagai jenis barang material maupun jasa komersial.

Saya menegaskan bahwa urutan ini tidak bisa dibalik. Artinya tanpa ketiga komponen primer itu, kinerja dan buah-buah materialnya tidak akan muncul. Tanpa etos kerja dan pengetahuan, keterampilan tidak bisa dibangun. Dan tanpa etos kerja yang kuat, pengetahuan pun tidak mungkin diperoleh. Jadi benarlah bahwa etos kerja memang merupakan komponen sukses primer, yaitu yang paling fundamental.

***


Seperti dijelaskan di depan, etos kerja--meskipun merupakan elemen primer--ternyata tidak bisa membawa sukses signifikan apabila pengetahuan dan keterampilan organisasional tidak berkembang secara proporsional. Pendapat ini didukung oleh tesis Mohamad Sobary dalam buku Kesalehan dan Tingkah Laku Ekonomi (1999). Di situ, Sobary mengutip penelitian Clifford Geertz atas kelompok dagang kelas menengah di Mojokuto, Jawa Timur. Dijelaskannya, dengan etos kerja santri yang mereka miliki, kelompok pengusaha Muslim memang berhasil menjadi wong dagang yang cukup berhasil, yaitu menjadi kelas menengah di Mojokuto. Tetapi keberhasilan lebih lanjut ternyata tidak bisa berkembang. Keberhasilan mereka seolah-olah membentur langit-langit seperti dilukiskan oleh Sobary berikut ini:

Namun kemajuan perekonomian Mojokuto tidak berkembang tanpa masalah. Geertz memperlihatkan kelompok pengusaha Muslim tidak kekurangan modal, juga memiliki pangsa pasar yang memadai, juga memiliki semangat yang cukup besar, karena seperti telah kita lihat, kelompok ini memiliki apa yang di Barat disebut sebagai etos Protestan yaitu hemat, rajin, dan bebas.

Yang tidak dimiliki oleh pedagang Muslim Pembaru ini di akhir tahun 1950-an pada dasarnya ada dua hal: kemampuan memobilisasi modal dan kemampuan untuk membentuk lembaga-lembaga ekonomi. Pendeknya, mereka tidak memiliki dukungan organisasional dan struktural. Mereka,— menurut Geertz—adalah pengusaha tanpa perusahaan.

Jadi, etos kerja yang baik tanpa diimbangi pengetahuan yang memadai (misalnya, apa produk yang digemari pasar, apa hambatan memajukan usaha, siapa pesaing-pesaing di pasar, dan sebagainya) dan keterampilan organo-manajerial (misalnya, bagaimana membentuk lembaga-lembaga ekonomi, bagaimana memobilisasi modal, bagaimana menjalankan perusahaan secara efisien, dan sebagainya), maka sukses komersial yang mungkin dicapai akan sangat terbatas.

Sobary mencatat bahwa kasus Mojokuto juga terbukti di tempat lain. Misalnya di Aceh melalui penelitian Siegel dan di Kudus melalui penelitian Castles. Penelitian Sobary sendiri di desa Suralaya atas masyarakat Betawi yang menjadi pokok bahasan bukunya, juga menghasilkan kesimpulan yang sama: mereka tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan manajemen, serta gagal mengembangkan organisasi bisnis modern sebagaimana saudara mereka di Barat seperti dikisahkan Max Weber dalam karya monumentalnya The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958).

Apabila etos kerja awal tadi tidak mampu menghasilkan sukses yang lebih tinggi karena dua kekurangan tersebut, dalam konteks persaingan dengan kelompok lain mereka kalah ini akan kalah bersaing dengan kelompok lainnya, yang pada giliran selanjutnya membawa akibat lebih fatal, yaitu melemahnya etos kerja mereka secara perlahan-lahan. Apa-lagi ditambah dengan faktor-faktor sosial-politik yang tidak menguntungkan—seperti dicatat Sobary—, maka proses pelemahan itu pun berjalan lebih cepat.

Mereka juga gagal dalam persaingan dengan kolompok etnik Cina. Kegagalan mereka ini adalah kegagalan politik dan sosial, bukan ekonomi. Etos kelas menengah yang berada dalam diri pengusaha-pengusaha ini telah menjadi lemah.

Penjelasan ini masuk akal. Jika orang sudah bekerja dengan rajin, jujur dan bersikap hemat, tetapi hasilnya tidak seberapa, bahkan kemudian kalah bersaing dengan tetangganya, secara tidak fair pula, maka semangat kerjanya akan merosot, yang pada gilirannya melemahkan etos kerja yang awalnya lumayan baik.

Dan tampaknya itulah yang terjadi di Mojokuto, Aceh, Kudus, dan Suralaya. Tidak berlebihan menduga bahwa hal ini terjadi secara merata di seluruh Indonesia mengingat di masa Orde Baru struktur perekonomian negeri ini dibangun secara distorsif dengan ketidakadilan sistematik bagi rakyat kebanyakan.

TIGA STRATEGI BARU BUAT INDONESIA

Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Saya memberanikan diri mengusulkan tiga strategi besar yang harus diambil serentak. Strategi pertama, kondisi sosial politik sebagai lingkungan makro bagi tumbuh kembangnya organisasi dan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat harus ditata secara positif, sehingga bebas dari distorsi yang sarat kolusi dan korupsi. Pada dasarnya inilah yang hendak diusahakan oleh gerakan reformasi di Indonesia de-ngan memaksa mundur Presiden Suharto, melaksanakan Pemilu jujur adil tahun 1999, dan membentuk pemerintahan baru sesudahnya. Cita-cita reformasi secara umum adalah penyelenggaraan pemerintahan yang jujur dan bersih, pengembangan demokrasi, pemberdayaan masyarakat, menegakkan kepastian hukum, menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk menciptakan masyarakat madani di alam Indonesia Baru. Saya pribadi meyakini alam reformasilah yang sesuai untuk tujuan menumbuhkembangkan organisasi dan lembaga-lembaga ekonomi nasional yang sanggup bermitra, bahkan bersaing dengan negara-negara lain.

Stategi kedua, etos kerja baru harus disosialisasikan dan dikaitkan secara tegas dengan upaya peningkatan ilmu dan pengetahuan masyarakat di segala bidang. Untuk itu predikat sebagai orang berilmu, berpengetahuan, atau orang pandai harus menjadi bagian integral dari visi sukses itu sendiri. Bersekolah dan belajar harus menjadi aspirasi masyarakat secara merata. Meraih gelar keilmuan setinggi-tingginya harus menjadi cita-cita baru bagi masyarakat. Dengan demikian etos kerja dan etos belajar difungsikan menjadi basis motivasi untuk meraih sukses di segala bidang. Dan dengan ini pula masyarakat akan berkembang menjadi masyarakat yang cerdas dan berpengetahuan. Yang harus dicegah ialah pemberhalaan gelar-gelar keilmuan yang tampak mencolok beberapa tahun belakangan ini, dimana gelar-gelar setingkat master dan doktor “diperjualbelikan” tanpa malu. Para “pembeli gelar” mengidap sakit jiwa karena mereka dengan bangganya mengenakan gelar-gelar mentereng tetapi hampa bobot. Di pihak lain, para “penjual gelar” juga kehabisan akal kreatif, sehingga demi uang mereka rela menistakan gelar-gelar yang penuh ke-hormatan itu. Bukan itu yang kita perlukan. Yang kita cari adalah kebanggaan sehat karena prestasi keilmuan yang sejati sehingga patut menyandang gelar yang berbobot pula.

Strategi ketiga, pengembangan etos kerja harus dilaksanakan dalam konteks pendidikan dan pelatihan manajemen, dalam arti seluas-luasnya untuk memperoleh keterampilan organisasional bermutu tinggi bagi seluruh warga organisasi. Ini harus dilakukan mulai dari tingkat negara, birokrasi, dunia bisnis, dunia pendidikan, bahkan semua jenis organisasi dalam masyarakat. Dengan demikian semua organisasi, besar-kecil, swasta-pemerintah, pro-laba-nirlaba, berkembang ke arah profesionalisme yang semakin tinggi dengan basis pengetahuan dan pembelajaran yang berkesinambungan. Intinya adalah proses pengembangan mutu SDM dalam organisasi dan masyarakat secara luas. Di sini, pengembangan pribadi, pengembangan organisasi, dan pengembangan sosial berlangsung secara simultan dan saling mendukung sehingga efek sinergi pengembangan masyarakat akan terjadi secara besar-besaran.

(selesai)


1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.

.................................................................................................

Selalu ada pagi. Secangkir kopi. Sepotong cemilan. Dan lalu lintas percakapan. Mulanya pertemuan tidak teratur. Lama-lama jadi rutin. Dan Jansen Sinamo senang hati membagi-bagi pikirannya. Ia percaya pada hukum kekekalan energi. Bahwa keindahan dari menebar rahmat adalah karena suatu saat ia akan kembali kepada penebarnya. Ini lah Candid Talks with Jansen Sinamo, kumpulan laporan coffee morning talk dengan dia, Guru Etos Indonesia. Semoga bermanfaat.Ingin menghubungi Jansen Sinamo? Kontak: Instut Dharma Mahardika, Pulogebang Permai Blog G-11/12, Jakarta 13950; Telp.021-480 `514; Faks 021 4800429