Monday, October 27, 2008

Cerita Biasa di Lepau Oh La La

Kalau mau, Dia bisa tidur-tiduran saja. Semuanya sudah Dia kerjakan. Tinggal ongkang-ongkang kaki menunggu hasil. Tetapi tidak. Dia tak pernah diam. 24 jam setiap hari, sepanjang zaman sepanjang segala abad, Dia bekerja. Dia adalah Tuhan yang bekerja. Kita tak henti-henti memberi Dia pe-er. Tak kenal waktu tak kenal tempat. Dia tak bekerja hanya karena Dia ingin bekerja. Kita pun berharap Dia mengerjakan apa yang kita minta. “Jadi kita mengenal Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta. Manusia mengenal Dia sebagai Tuhan yang bekerja, The Working God,” kata lelaki itu.

Pada suatu hari Jum’at tiga minggu lalu, pagi masih demikian muda tapi kami sudah larut dalam diskusi menggebu-gebu tentang Tuhan dan etos kerja. Kafe Oh La La di lobi sebuah gedung pencakar langit di kawasan Imam Bonjol itu sebetulnya belum sepenuhnya ready. Beberapa jenis cake yang jadi menu istimewanya, belum matang. Dari dalam kafe, pemandangan melalui kaca menunjukkan satu demi satu karyawan di perkantoran itu baru berdatangan. Mereka cukup dengan berjalan santai, sebab masih ada waktu lowong 30 menit lagi sebelum jam kantor mulai. Tetapi lelaki berusia 50 tahun di hadapan saya, dugaan saya, sudah melewati ‘setengah’ dari apa yang ingin ia sampaikan pada acara ‘ngopi bareng’ kami, pagi itu. Ibarat menyetir mobil, saya benar-benar luput memperhatikan kapan dia tadi memasukkan gigi satu. Tiba-tiba saja saya merasakan ia telah mengendalikan pembicaraan dengan gigi tiga yang mulus di jalan tol yang lengang. Sebentar lagi mungkin kami sudah melaju lebih kencang lagi…..

Jansen Sinamo yang jadi tuan rumah ngopi bareng itu, tampak segar. Beberapa bulan lalu ia sempat terserang stroke ringan, menyebabkan sebelah kiri tubuhnya sempat lumpuh. Ia merahasiakan sakitnya dengan baik, hingga hanya keluarga dan beberapa staf-nya yang tahu. Pendengar siaran rutinnya setiap Jum’at di Radio Smart FM bahkan banyak yang tak diinformasikan kenapa ia absen dan digantikan oleh sahabatnya Andrias Harefa, sementara waktu. Jansen juga piawai menutupi rahasia itu dari sahabat-sahabat dekatnya, termasuk Jakob Oetama yang baru tahu dan meneleponnya setelah ia pulih.

Kini ia segar seperti sediakala, kecuali adanya tambahan sebuah tongkat sebagai asesori-nya manakala ia berjalan. Cara bicaranya, pilihan kata-katanya, loncatan-loncatan pemikirannya, tak berubah sedikit pun. Ia malah tampak lebih lincah dan efektif dalam mengelola topik pembicaraan. Mungkin karena rokok mild yang dulu sering mengambil jeda kala ia menjelaskan sesuatu, tak lagi ia sentuh kini. Ia pun sudah ‘manggung’ kembali, berbicara di berbagai forum pelatihan motivasi di berbagai kota.

Dan, entah bagaimana mulanya pagi itu, kami tiba pada topik the Working God. Jansen Sinamo yang dikenal sebagai Guru Etos, menjelaskan apa yang diyakininya sebagai masalah yang melanda banyak individu mau pun korporasi di Tanah Air: masih lemahnya kesanggupan bekerja secara profesional. Hampir semua orang mau dan suka bekerja, tetapi apakah itu dapat mewujud dalam kesanggupan bekerja secara profesional? Belum tentu.

Menurut Jansen, semua orang ingin sukses. Manusia mendayagunakan segenap keahlian dan energi untuk mencapai sukses. Secara batiniah, energi itu oleh Jansen disebut Roh Keberhasilan, the Spirit of Success, berupa Roh Kebaikan, Roh Keterpercayaan, Roh Pengabdian, Roh Pertumbuhan, Roh Cinta, Roh Estetika, Roh Keunggulan dan Roh Penatalayanan. Semua ini sudah dan tetap ada dalam tiap manusia, sejak Pencipta menganugerahkannya. Tapi apakah ia akan mewujud dalam dunia nyata, dalam bentuk karya-karya unggul?

Tidak. Roh Keberhasilan, bagi Jansen, bukan lah mantra yang bisa menyihir kekalahan jadi kemenangan, menyulap kemiskinan menjadi kemakmuran, atau mengubah setiap kegagalan menjadi kesuksesan. Roh itu membutuhkan aksi, keringat, bahkan airmata untuk menghasilkan buah-buah yang manis. Lalu manusia bekerja. Membanting tulang. Tapi itu pun tak cukup bila bekerja hanya dipandang sekadar respon aspirasi manusia. Dibutuhkan sikap dan perilaku kerja yang positif. Dan itu lah yang oleh Jansen dikristalkan menjadi Delapan Etos Kerja Profesional. (Lebih jauh tentang karya-karya Jansen Sinamo, bisa diklik di sini). Bagi Jansen, aliansi antara roh keberhasilan dan etos kerja lah yang membawa manusia mencapai impiannya.

Lebih dari 10 tahun Jansen Sinamo menyemai Delapan Etos Kerja Profesional itu melalui berbagai pelatihan yang telah menjangkau ribuan orang di perusahaan besar dan kecil di seantero Indonesia. Buku dengan judul serupa telah dicetak ulang sampai lima kali, terjual lebih dari 300 ribu kopi, sebuah buku super best seller dibandingkan buku lokal ber-genre serupa. “Dengan ilustasi yang kaya, penulisannya dilakukan secara amat hidup, penuh pathos dan segera mengingatkan kita akan energi yang muncul dari buku-buku Dale Carnegie,” kata Ignas Kleden tentang buku karya sahabatnya itu. “Bekerja cerdas bergairah. Bekerja sebagai ibadah. Bekerja memberi makna hidup. Bacalah buku ini. Padat, lancar, berinspirasi,” kata Jakob Oetama.

Jansen Sinamo sendiri dengan bangga menerima dan melakoni julukan sebagai ‘Guru Etos’ kendati ia masih menyimpan cita-cita agar Etos itu menyentuh lebih banyak orang lagi. Ia ingin Etos tak hanya berkumandang di kalangan pekerja kerah putih di perusahaan multinasional dan korporasi besar. Ia ingin Etos juga menyentuh guru-guru di pelosok terjauh negeri ini. Di instutusi-institusi agama yang menggambarkan tugasnya sebagai ‘pelayanan.’ Di kalangan birokrasi. Para perawat. Pilot. Supir dan bahkan anak-anak sekolah agar sejak dini mereka diberi pemahaman yang sejati tentang penting dan berartinya bekerja.

Di batu nisan saya kelak, tak terlalu panjang-panjang penjelasan yang saya harapkan. Cukup: Di sini beristirahat, Jansen Sinamo, Guru Etos Indonesia,” kata dia tanpa ada nada canda. Pengalamannya semasa sakit dan dalam kata-katanya sendiri –sempat berhadap-hadapan dengan pintu kematian—menyebabkan Jansen banyak juga bicara tentang berbagai kemungkinan ‘hidup’ sesudah hidup.

()()()

Ibunya dulu adalah putri Kepala Negeri Kerajaan di kawasan Pakpak Barat, Sumatera Utara.Tapi sebagai perempuan, sang Ibu tak bisa baca tulis sampai akhir hayatnya. Ayahnya memulai karier sebagai pesuruh di kantor Kecamatan dan karena itu seusai jam kerja, bertani adalah pekerjaan kedua bagi seluruh keluarga.

Kisah hidup Jansen Sinamo, sulung dari delapan bersaudara, sesungguhnya adalah ‘cerita biasa’ tentang bagaimana orang Batak merangkak dari bawah menuju tangga cita-cita. Tetapi cerita biasa semacam ini tak pernah basi terutama karena details tiap cerita lah yang jadi kunci. Inul Daratista harus berkeliling kampung sebelum ia jadi Diva. Ayah Olga Syahputra harus menjual kulkas untuk biaya audisi perdana sebelum pria keperempuan-perempuanan itu kini mencapai sukses sebagai bintang televisi. Dan, Jansen Sinamo?

Dilahirkan di Sidikalang, 2 Juli 1958, sejak kecil ia selalu juara di sekolah. Karena bacaan kurang, Alkitab jadi sasarannya sepulang sekolah dan sehabis membantu ayah-ibu-nya bekerja di ladang. Sejak kelas IV, ia sudah jadi ‘kamus berjalan’ bagi guru Agama, manakala sang guru lupa tentang tokoh atau jalan cerita Alkitab yang sedang diajarkannya. Ia jadi ‘asisten’ hampir semua guru-gurunya di SD: mengambil kapur, menghapus papan tulis, mengunci kelas dan banyak lagi. Suatu kali diselenggarakan pementasan kisah Sisingamangaraja yang ditonton orang se-Sidikalang. Dan Jansen Sinamo lah jadi pemeran utamanya.

Tapi itu hanya setengah dari kisah panjang hidupnya. Di pertengahan 1970-an, seorang kerabat mengundang ayahnya untuk sebuah acara syukuran. Makan-makan, tentu. Yang dirayakan adalah telah tamat dan pulangnya putra sang kerabat dari studi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ayah Jansen turut berbagi kebahagiaan, tetapi juga merasa tertantang. Bisakah dirinya juga seperti kerabat itu, menyekolahkan dan memberangkatkan anaknya ke ITB, sekolah yang menghasilkan insinyur beken (dan membelokkan Soekarno jadi presiden,..hehehe).

Di sela-sela makan-makan itu, Ayah Jansen berbincang dengan sang insinyur baru. Tanya ini dan itu. Apa kira-kira syaratnya untuk bisa kuliah di ITB. Bagaimana sekolah di sana. Kalau sudah lulus jadi apa, dan seterusnya. Pendek cerita, sang insinyur baru itu menjawab pertanyaan selengkap mungkin sementara ayah Jansen tak kalah taktik, ia juga mempromosikan kapasitas anaknya yang sudah tak asing lagi di seantero kampung. Rupanya insinyur baru itu lama-lama penasaran dan ingin bertemu Jansen. “Coba, Tulang suruh lah ke sini dia. Aku mau bicara dengan dia.”

Jansen datang dan berbincang dengan sang insinyur. Perbincangan itu begitu asyik dan nyambung. Hingga akhirnya ayah Jansen mendapat kabar gembira. Kata sang insinyur muda kepada ayah Jansen, dari melihat jidat besar Jansen saja, ia sudah yakin bakal diterima di ITB. Jadi tak usah ragu lagi. Kirimkan saja dia ke Bandung. Soal bagaimana ia tinggal di kota kembang itu, jangan khawatir. Si insinyur muda itu bersama adik-adiknya yang lain telah mengontrak sebuah rumah. Jansen bisa numpang bersama mereka.

Jansen Sinamo meninggalkan kampung halamannya ketika ia baru dua tahun di SMA. Kelas tiga SMA dia jalani di sebuah sekolah swasta di Bandung. Hasratnya untuk diterima di ITB demikian tinggi. Yang ia pertaruhkan sedemikian besar. Bukan saja reputasinya sebagai anak pintar yang selalu juara sejak kecil. Ia juga merupakan pria bermarga Sinamo pertama yang menyeberang ke pulau Jawa. Nasihat demi nasihat yang dijejalkan kepadanya pada berbagai acara makan-makan dalam rangka keberangkatannya, turut menjadi mesiu bagi perjuangannya. Nasihat-nasihat itu agaknya tak pernah lupa bahkan makin bertambah-tambah, tercermin dari bagaimana ia kini tiap kali berbicara. Satu dua kata-kata mutiara dari Pakpak dan Batak Toba selalu berhasil dia selipkan, disela-sela perbincangan tentang The Seven Habits of Highly Effectively People-nya Covey, How to Win and Influence People-nya Carnegie, Contact with God-nya De Mello, bahkan ketika mendiskusikan The Lucifer Principle-nya Howard Bloom.

Sudah dapat ditebak jika cita-citanya masuk ITB itu terkabul. Ia mengambil jurusan Fisika, ilmu 'sulit' tapi dahsyat terutama bagi anak-anak dan remaja yang mengidolakan Einstein. Seakan mengulang cerita biasa yang kerap terjadi pada orang-orang luar biasa, belokan-belokan perjalanan hidup juga terjadi pada Jasen Sinamo. Soekarno jadi presiden kendati formalnya di ITB ia diajar membangun jembatan dan bendungan. Ciputra jadi pengusaha padahal di ITB ia menekuni arsitektur. Dan, Jansen Sinamo, hanya sebentar saja menggeluti dunia teknik, sebagai seismic engineer di sebuah perusahaan swasta, sesudah menamatkan studi Fisika-nya. Panggilan jiwanya bukan ke sana.

Tahun 1984 ia mengikuti Dale Carnegie Training atas beasiswa Soen Siregar, pemegang lisensi institusi itu untuk Indonesia. Seakan sebuah kotak pandora yang terbuka, akumulasi kapasitas dirinya tergali dan terbangkitkan dengan intens ketika ia menemukan dahsyatnya daya tarik dan pengaruh pada seseorang yang berperan sebagai trainer dan public speaker. Seperti kebiasaannya, ia mengikuti training itu dengan disiplin. Datang paling pagi. Dan ia ditawari menjadi asisten. Kelak, di sini lah namanya mencorong. Kariernya sebagai instruktur meroket sampai terakhir menduduki posisi direktur di Dale Carnegie Training Indonesia. Jika dewasa ini 'motivasi sukses' sudah menjadi suatu industri yang besar, Jansen Sinamo tergolong sebagai generasi pertama yang ikut membuka jalan, setelah sang Pemula, Soen Siregar.

Orang tua kerap salah bila bicara dengan logika, tetapi benar bila mengikuti intuisinya. Ketika Jansen masih kecil, Ayah-ibu-nya sudah pernah menduga-duga, kelak anaknya itu akan jadi pendeta atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan ajar-mengajar dan nasihat-menasihati. Intuisi itu mungkin tak sepenuhnya didasarkan pada feeling, tetapi juga pada pengamatan secara sadar. Bahwa sejak kecil Jansen sudah getol membaca, rajin mendengar para Raja Parhata bersilat lidah, tekun menyimak nasihat yang disampaikan ayah-ibunya kepadanya sebagai anak sulung dan rajin menceritakan ulang dongeng-dongeng bijak dari perbedaharaan tradisi.

Akumulasi kearifan yang ditimbanya dari masa kecil itu, seakan menemukan pelampiasaannya ketika di masa-masa kuliah ia menjadi asisten dosen mata kuliah etika (dan diteruskan di kemudian hari menjadi dosen menggantikan dosen yang diasisteninya selama beberapa tahun). Tak hanya buku Fisika yang ia lahap. Buku sosiologi, filsafat, manajemen, kepemimpinan ikut mengisi ruang-ruang di dalam batok kepalanya dengan ciri khas –maaf-- jidat yang besar itu. Ketika ia mendapat honor dari mengawas ujian Sipenmaru di tahun ketiga kuliahnya, yang pertama kali dia beli adalah satu paket buku tafsiran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berbahasa Inggris. Harganya kala itu mencapai Rp600 ribu-an; bahkan orang yang sudah punya gaji tetap pun mungkin kala itu akan berpikir seribu kali untuk mengeluarkan uang sebesar itu untuk buku.

Sejak 10 tahun lalu, Jansen memasuki tahap baru. Ia mulai proyek besarnya untuk membangun sebuah teori sukses yang menyeluruh, yang menjelma dalam Delapan Etos Kerja Profesional itu. Ia 'pergi' ke mana saja untuk mencari bahan dan 'adonan' bagi proyek besarnya itu. Ia pelajari dogeng-dongeng dari masa kecilnya. Ia pelajari juga dongeng-dongeng dari khasanah berbagai budaya. Komik tak ketinggalan. Ya, komik adalah penting sebagai tempat belajar teori sukses. Kitab suci? Pasti. Dan buku-buku. Baik buku-buku motivasional mau pun buku biografi orang-orang sukses.

Lebih dari 2000 buku ia baca dan jadikan dasar bagi proyek besarnya itu, disamping diskusi dengan rekan dan 'murid-muridnya.' Dan pada akhirnya, intuisi ayah-ibu-nya yang memproyeksikan kelak Jansen bakal jadi pendeta, ternyata tak terlalu meleset. Di usianya 50 tahun saat ini, googling saja di internet. Etos seakan-akan identik dengan dia, si Guru Etos. Ribuan orang telah menghadiri pelatihan yang ia selenggarakan. Bank, perusahaan telekomunikasi, penghasil barang-barang elektronik, produsen ban, pabrik obat, dan banyak perusahaan besar lainnya, telah mengundangnya mengajarkan Etos, sama halnya dengan gereja, yayasan dan sekolah yang mulai merasakan perlunya sentuhan 'Etos'nya.

Berbagai julukan sebagai tanda respek disematkan padanya. Ia disebut Mr. Etos. Presiden

Direktur Indomobil Group, Gunadi Sindhuwinata menyebut Jansen sebagai Pakar Etos. Anugerah Pekerti menyebutnya, 'seorang muda bersemangat yang berani mengembarakan angan-angan dan pikirannya menjagat untuk memahami apa yang membuat orang berkarya, maju dan berhasil.' CEO Smart FM, Andi Odang menghormatinya sebagai the one and only Guru Etos di Indonesia. Memang tak berlebihan. Sebab menurut Rhenald Khasali, “Ketika para ahli berbicara tentang motivasi, habit, atau hal-hal spiritual, Jansen Sinamo mengajak kita pada akar yang menggerakkan semua perilaku manusia dalam berkarya yang disebut Etos...”.

()()()

Dari mata air di kali Aek Simatahuting di Sarimatondang, curahan air bening mengalir melalui beberapa pancuran besi yang besar-besar. Di masa kecil dulu, ke sana lah kami setiap pagi dan sore mandi serta mencuci pakaian. Setelah melepas busana, seluruh tubuh kami biarkan 'dihantam' oleh curahan air pancuran itu, yang pada tahap awal akan membuat badan bergetar kedinginan, namun sesudahnya terasa segar dan bersih.

Tetapi ada jenis pancuran lain. Ia berada di sebuah sudut, yang deru dan aliran airnya tidak begitu besar, namun entah sejak kapan, ia telah begitu setia mengalirkan kejernihan melalui sebuah pancuran yang kecil. Setelah mandi, ke sini lah kami pergi dan menadahkan ember atau jeriken yang akan kami bawa pulang untuk jadi persediaan air minum di rumah.

Tiap kali berbincang dengan orang-orang seperti Jansen Sinamo, tokoh-tokoh yang setia menggeluti bidang-bidang yang kerap kita sebut sebagai softskill itu, tak bisa tidak, saya selalu membayangkan pancuran tempat kami menampung air untuk dibawa pulang. Tidak terhitung lagi berapa banyak rumah dan penduduk yang dahaganya dipuaskan oleh pancuran itu. Dan ia tetap setia, di sudutnya yang tak terlalu terlihat. Tetapi orang-orang yang tahu akan pentingnya air jernih, pasti tahu jalan ke arah sumber itu.

Welcome back, Pak Jansen. We are waiting for the next big thing.

--selesai--

Ciputat, 27 Oktober 2008

Note: Beberapa waktu lalu, Abed Juli Simbolon, kawan sekampung dari Sarimatondang memberi saran agar saya menuliskan tips sukses merantau. Sejujurnya permintaan itu terlalu berat. Tapi mudah-mudahan cerita tentang Jansen Sinamo ini dapat menjadi inspirasi. Saya sendiri sangat yakin, merantau itu seperti belajar naik sepeda. Harus dicoba dulu baru bisa! :-)

Sumber foto Jansen Sinamo: http://institutmahardika.com

Sumber foto kopi sidikalang: http://kopi-sidikalang.blogspot.com

1 comment:

Anonymous said...

aku udah baca bukunya pak jansen.
And i really appreciate it.
Great!

Etos kerja itu menjadi salah satu penyemangatku ketika aku mulai melangkah memasuki dunia baru yaitu dunia kerja.

Sukses buat pak jansen.
Semoga bisa terus menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.

GBU

.................................................................................................

Selalu ada pagi. Secangkir kopi. Sepotong cemilan. Dan lalu lintas percakapan. Mulanya pertemuan tidak teratur. Lama-lama jadi rutin. Dan Jansen Sinamo senang hati membagi-bagi pikirannya. Ia percaya pada hukum kekekalan energi. Bahwa keindahan dari menebar rahmat adalah karena suatu saat ia akan kembali kepada penebarnya. Ini lah Candid Talks with Jansen Sinamo, kumpulan laporan coffee morning talk dengan dia, Guru Etos Indonesia. Semoga bermanfaat.Ingin menghubungi Jansen Sinamo? Kontak: Instut Dharma Mahardika, Pulogebang Permai Blog G-11/12, Jakarta 13950; Telp.021-480 `514; Faks 021 4800429