Episode Ruang Tunggu
13 April 2006, di sebuah kantor Pemerintah
Setelah bersitegang agak lama dengan pegawai sebuah kantor Pemerintah Pemda DKI Jaya yang mengurusi klaim pensiunan, saya akhirnya terduduk loyo. Di sebuah bangku panjang berderet dekat ke tembok. Bersama istri saya yang hari itu, untuk kesekian kali datang ke kantor itu untuk urusan yang itu-itu juga. Saya menemaninya karena kasihan. Bolak-balik kantor itu mengurusi pensiun ibu mertua. Tidak kelar-kelar. Padahal sepekan sebelumnya, Bu Pejabat yang akan kami temui sudah menjanjikan hari ini urusan akan beres. Eh, ketika kami datang, stafnya berkata mendadak si Ibu ada acara di luar kantor. Baru kembali lagi sore hari.
Saya mau marah. Dan kemudian memang marah. Tetapi akhirnya kami memutuskan untuk menunggu. Menunggu sampai kapan pun si Bu Pejabat akan kembali. Walau para stafnya membujuk agar kami datang lagi besok. Atau menitipkan saja pesan. Kami tak mau. Kami akan menunggu, kata saya. Saya melirik jam. Pukul 9:52. Tak apa. Akhirnya saya meminta agar istri saya pulang saja.
Di ruangan itu orang berlalu lalang dengan banyak urusan. Saya duduk, mulanya dengan hati dongkol. Tetapi kemudian saya teringat, di ransel di dalam mobil, ada buku titipan dari Jansen Sinamo. Delapan Etos Kerja Profesional, Navigator Anda Menuju Sukses. Mengapa saya tak membacanya saja, untuk mengisi waktu?, pikir saya dalam hati.
Saya segera berlari ke tempat parkir. Dan kemudian kembali lagi dengan buku karya Jansen di tangan. Segelas plastik Aqua dan seonggok gorengan saya bawa turut serta kemudian saya letakkan di samping saya.
Saya mulai membaca buku itu. Di sana ada sebuah penjelasan tentang Rahmat. Rahmat itu, per defenisi adalah kebaikan yang kita terima tanpa kualifikasi, tanpa syarat. Rahmat tidak dikaitkan dengan prestasi, merit atau kebaikan kita. Dengan kata lain rahmat itu adalah anugerah, berkat, kasih karunia, idop ni uhur kata orang Simalungun. Kata Jansen lagi, hanya Tuhan lah yang mampu memberikan rahmat yang paripurna.
Rahmat itu ternyata ada macam-macamnya. Ada rahmat umum, yakni rahmat yang semua orang mendapatkan dan menikmatinya. Udara, sinar matahari, hujan, bahasa ibu yang secara otomatis kita kuasai sejak kecil, dan sebagainya.
Ada juga rahmat khusus yakni rahmat yang secara istimewa didapatkan seseorang dan orang lain tidak. Misalnya (sekali lagi, misalnya nih), saya yang orang Batak ini dianugerahi Danau Toba yang luas dan cantik sehingga ketika orang bertanya tentang kampung halaman saya, saya dengan cepat bisa bilang, kira-kira satu jam dari Danau Toba.
Rahmat khusus ini bisa dalam berbagai bentuk. Semisal, rahmat yang bersifat serendipitas yakni menemukan atau memperoleh sesuatu yang bernilai tanpa mencarinya. Contoh klasik adalah penemuan Amerika oleh Columbus. Ia sebenarnya tidak berniat menemukan benua itu. Ia cuma ingin mencari jalur baru ke India. Tetapi ia gagal dan malah mendapat 'ganjaran' sebuah benua raksasa. Rahmat serendipitas.
Rahmat khusus lain adalah rahmat yang muncul tak terduga-duga, koinsidensial, kebetulan. Jansen menulis, "Terjadinya dua peristiwa secara bersamaan tak ada yang mengaturnya namun setangkup saling memenuhi." Misalnya, pada sautu saat kita sedang benar-benar membutuhkan pertolongan si X. Tanpa kita duga-duga, si X menelepon dan kemudian muncul di hadapan kita. Sebuah rahmat yang tak terduga, bukan?
Namun, jenis rahmat yang paling relevan pagi itu, dan membuat saya jadi betah membaca buku itu berlama-lama adalah penjelasan Jasen tentang Rahmat Terselubung. Rahmat terselubung adalah rahmat yang datang dari berbagai kecelakaan. Misalnya, dalam kisah Titanic diceritakan ada satu keluarga di Inggris yang merencanakan liburan ke Amerika menumpang kapal itu. Namun beberapa hari sebelum berangkat, anak mereka digigit anjing dan positif kena rabies menyebabkan mereka batal berlayar. Beruntung bukan? Dibalik batalnya mereka berangkat, mereka terhindar dari maut. Blessing in disguised.
Wah, kata saya dalam hati. Hari ini saya mendapat rahmat terselubung. Di sela-sela kekesalan berhadapan dengan para priyayi dan ambteenar di kantor ini, ternyata saya diberi tempat duduk di ruang tunggu ini. Ditemani segelas Aqua dan gorengan. Saya jadi punya waktu berkonsentrasi penuh kepadai buku karya Jansen Sinamo. Sungguh, saya benar-benar tidak membual, kurang lebih empat jam saya menunggu di ruang tunggu itu (Mulai pukul 10:00-14:00) saya berhasil menuntaskan membaca buku Jansen. Tidak capek. Kening tidak berkeriput. Karena bahasanya memang cair mengalir. Contoh-contohnya dalam.
Penjelasan tentang Rahmat tadi, adalah bagian dari penuturan Jansen tentang salah satu dari delapan Etos kerja profesional, yakni Etos 1: Kerja adalah rahmat. Menurut Jansen, jika seorang profesional ingin sukses, jika sebuah korporasi ingin membangun keberhasilan yang sejati, etos semacam itu harus di bangun pada tiap insan, yakni Kerja adalah rahmat. Dengan menempatkan kerja sebagai rahmat, bahwa pekerjaan adalah juga dianugerahkan oleh Tuhan karena kita yakin Dia yang selalu memelihara dan bersama kita, maka seseorang akan mengejawantahkannya dalam hidup berupa tekad 'Aku bekerja tulus penuh syukur.'
Anda, sama seperti saya, awalnya pasti akan mentertawakan pernyataan, bahwa 'kerja adalah rahmat Tuhan.' Yang benar saja. Kita kan harus berjuang mati-matian mengalahkan saingan lain ketika dites untuk bekerja di sebuah perusahaan? Masa' sih itu anugerah? Diberi secara cuma-cuma oleh Tuhan?
Saya tertawa dalam hati dan mencoba mengikuti alur pikiran Jansen. Dan ternyata ia memang tidak hanya mendagel. Ia tidak hanya ingin menyenang-nyenangkan Tuhan dengan pernyataannya itu. Dia tidak sedang ingin jadi terlihat sebagai orang baik-baik. Sebab penjelasannya memang pada akhirnya dapat meyakinkan saya. Atau lebih tepatnya, memperlihatkan apa yang mungkin selama ini tak pernah terlintas di benak saya.
Kata dia, ada lima alasan mengapa kita menganggap pekerjaan adalah rahmat. Pertama, karena dengan pekerjaan lah Dia memelihara kita. Dengan bekerja lah kita dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga. Dan itu adalah jalanNya menafkahi kita, bila kita percaya semua yang ada adalah milikNya. Masuk akal, bukan?
Kedua, dengan bekerja orang tidak hanya dipenuhi kebutuhan jasmaniahnya. Ia bergaul, berinteraksi dan merasa jadi manusia seutuh-utuhnya. Jadi insan mulia. Ini tak pernah kita dapatkan karena usaha kita, melainkan ia adalah anugerah. Anugerah atau rahmat yang menyatu dalam sebuah pekerjaan yang kita peroleh.
Ketiga, talenta atau bakat yang kita miliki, yang kita katakan sebagai rahmat khusus, datangnya dari Dia. Dan dengan talenta itu lah kita bekerja. Maka, bukankah itu berarti pekerjaan yang kita dapatkan berkat talenta itu, adalah sebuah rahmat juga?
Keempat, bahan baku yang kita olah dalam pekerjaan kita, semuanya tersedia karena rahmat.
Kelima, interaksi kita kepada banyak orang memberi kita identitas sekaligus komunitas. Ini adalah anugerah yang tidak kita dapatkan karena kekuatan kita melainkan anugerah yang tersedia dengan sendirinya karena kita bekerja.
Saya tidak tahu, apakah Anda menyukai penjelasan-penjelasan mendalam seperti yang dilakukan Jansen ini. Penjelasan yang mengajak kita menanyakan hati dan mencari lagi pengertian hakiki dari yang dijelaskannya. Kalau Anda menanyai saya, saya akan katakan menyukainya karena dalam banyak hal, ia ternyata menyuguhkan sudut pandang yang sebelumnya tidak pernah saya duga samasekali.
Saya kira di sini lah letak keistimewaan buku karya Jansen. Contoh bagaimana ia menjelaskan Etos 1: Kerja adalah Rahmat itu, ia teruskan hingga mencakup tujuh Etos lainnya. Yakni:
Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku bekerja penuh tanggung jawab.
Etos 3: Kerja adalah Panggilan; Aku bekerja tuntas penuh integritas.
Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku bekerja penuh semangat
Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku bekerja serius penuh kecintaan.
Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku bekerja cerdas penuh kreativitas
Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku bekerja tekun penuh keunggulan.
Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati.
Kesemua Etos itu dijelaskan dengan gamblang, rinci tetapi juga luas. Jansen mendatangi berbagai khasanah ilmu, khasanah peradaban untuk menerangkan apa saja yang dalam bayangan dia akan bisa memperkuat argumennya. Kadang-kadang ia memang terkesan terlalu ingin mengatakan lebih banyak (bahkan kebanyakan dari yang kita butuhkan) tetapi justru dalam kesabarannya menjelajah pikiran-pikiran orang lain, kita menemukan sudut pandang lain. Tak percuma daftar pustakanya dihuni tak kurang dari 100 buku dan artikel referensi, mulai dari Gibran hingga Fukuyama, Kiyosaki hingga Anthony Robbins.
Ketika arloji menandakan saya telah dua jam membaca buku itu, saya terkaget-kaget ketika saya sudah berada di lebih setengah dari isi buku. Oh, tentu ada beberapa bagian yang saya lewatkan. Semisal sub bab Mutiara Etos yang ada pada setiap bab, semacam rangkuman dari tiap bab. Tetapi hampir tak ada yang saya lewatkan sepanjang mengenai masalah-masalah mendasar yang disajikan dalam buku itu. Dan karena itu lah saya kaget karena sesungguhnya selama ini saya tak pernah bisa betah membaca buku lebih dari satu jam, tanpa menaruh perhatian ke tempat lain. Mungkinkah ini karena buku Jansen yang sangat memikat, dengan bahasa yang mengalir tapi padat, lincah tanpa kehilangan keseriusan dan pada saat yang sama, acap menghadirkan kejutan sudut pandang? Atau hanya karena soal teknis belaka: saya memang terkurung di ruang tunggu itu, sehingga tidak ada alasan untuk tak memelototi buku di tangan saya?
Apa pun alasannya, akhirnya saya berkata dalam hati tak menyesal mendapatkan buku ini dari tangan penulisnya langsung, Jansen Sinamo. Saya juga bersyukur karena akhirnya mendapat sudut pandang baru tentang arti sukses dan pada saat yang sama, mempunyai sudut pandang yang baru dalam menempatkan buku-buku tentang sukses. Saya akhirnya mulai mengerti mengapa banyak buku sukses menjadi bestseller, dicari orang, walau pun kita tahu, membaca buku sukses bukan jaminan untuk sukses. Saya akhirnya tahu bahwa buku sukses memang tidak menjamin kita sukses melainkan ia mungkin akan dapat memperbarui pemahaman tentang sukses, pemahaman yang lebih segar yang oleh orang-orang sekarang kerap disebut pencerahan.
Di atas semua itu, dari buku Jansen saya justru merasa mendapatkan hal yang lebih dalam lagi. Selama ini saya menganggap sukses itu adalah sesuatu yang jauh di sana, menunggu untuk kita renggut, seperti sebuah sepeda, sehelai baju, seperangkat alat-alat tulis, yang tergantung di pucuk pohon yang jadi ajang rebutan dalam lomba panjat pinang 17 agustusan. Membaca karya Jansen, kita disadarkan bahwa makna sukses itu juga berubah dan dapat kita ubah. Sukses itu dimulai dari pikiran dan ia akan sangat tergantung dari Etos yang kita bangun. Sukses dengan kata lain, bisa jadi akan seperti rahmat juga. Ada sukses yang bersifat umum, ada sukses yang bersifat khusus. Ada sukses yang layaknya bisa dicapai oleh siapa saja. Tetapi ada juga sukses yang mungkin hanya milik kita.
Pukul 14:00, akhirnya Bu Pejabat yang saya tunggu-tunggu kembali ke kantornya. Setelah menunggu di depan pintu ruangannya, saya akhirnya masuk. Setelah ia meminta maaf berkali-kali (tapi saya sudah bosan dengan maaf semacam ini), akhirnya saya mengemukakan kekesalan dan kemudian Bu Pejabat berjanji akan membereskan urusan kami. Saya hanya meminta dia kepastian waktu. Dan akhirnya ia menjanjikan tiga hari.
Sambil berdesak-desakan di dalam lift yang membawa turun untuk kemudian keluar dari areal kantor itu, aneka pikiran berlompatan dalam benak saya, masih tentang apa saja yang saya baca di buku karya Jansen. Saya bertanya dalam hati, siapa kira-kira yang bakal membaca buku itu? Dan apa kira-kira yang akan mereka dapatkan dari buku itu?
Saya tak bisa dengan cepat menemukan jawabannya. Yang saya bayangkan, orang-orang yang merasa memerlukan sukses akan mencari buku ini. Dengan membaca buku ini mereka secara perlahan akan merasa bahwa mereka belum terlambat untuk meluruskan langkahnya, bila mereka merasa berada di jalan yang salah. Pada saat yang sama, saya juga menduga ada yang malah bertepuk tangan diam-diam, dan bersyukur dalam hati karena walau mereka belum sukses, setelah membaca buku ini, bertambah PD karena ternyata telah mencapai tigaperempat perjalanan. Orang-orang yang merasa sukses, saya yakin, setelah membaca buku ini, juga akan merasa bisa melihat sisi lain dari suksesnya itu sehingga ia akan dengan cepat mengatakan, "Oh, saya belum sesukses yang saya duga, ternyata….."
Dengan kata lain, buku yang dimaksudkan sebagai navigasi menuju sukses ini, bukan hanya untuk orang yang belum sukses, ingin sukses dan mencari sukses. Tetapi juga bagi mereka yang merasa dirinya sudah sukses. Sebab Jansen tak hanya bicara tentang sukses. Ia menerangkan sukses yang sejati.
Saya tidak lagi menyesal mengenal Jansen Sinamo. Juga tak akan alergi lagi pada buku-buku sukses. Setidaknya, bila ia bisa ditulis sedalam dan selincah buku Jansen, plus ada intro yang enak dari penulisnya sambil menyeruput Cappucino, siapa pun pasti akan berusaha mencari 'rahmat terselubung' agar punya waktu untuk membacanya.
Selamat Pak Jansen. Navigasi Anda saya kira akan dinantikan banyak orang.
29 April 2006
© Eben Ezer Siadari
No comments:
Post a Comment